Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Bolehkah Judi Dihalalkan Saja untuk Bapak Ini?

Bolehkah Judi Dihalalkan Saja untuk Bapak Ini?

Di dunia ini, ada saja hal yang membuat sesuatu itu menjadi tidak mutlak. Bahkan hal yang sangat kita anggap keji pun bisa menjadi hal yang lumrah bagi orang lain. Itulah sebabnya standart ganda bisa terjadi kapan saja. Bukan masalah diskriminasi, tapi ada saat dimana pengklasifikasian orang-orang tertentu untuk berbeda di muka hukum menjadi hal yang paling adil.Ada saat dimana tidak semua orang harus sama di depan hukum. Meski secara teori hal itu dapat dikatakan salah, tapi secara nurani mungkin saja hati kita malah mengangguk dan membenarkan.

Nenek pencuri 3 buah coklat yang dulu sempat hangat menjadi pemberitaan mungkin bisa kita jadikan contoh. Si Nenek ini hanya mencuri 3 buah coklat untuk dijadikan bibit. Beliau tidak maling satu kebun. Cuma 3 biji. Namun hukum harus ditegakkan meski dunia ini runtuh sekalipun. Si Nenek bahkan tidak punya uang sebagai ongkos untuk pulang pergi dari kampung ke pengadilan. Bahkan hakim yang memvonis si nenek sempat menitikkan air mata di akhir persidangan..

Seandainya kita boleh berandai-andai, sepatutnyalah standart ganda itu ada. Khusus untuk orang seperti si Nenek di kasus tersebut, sudah sepantasnya diberi rukhsoh atau keringanan hukum. Dia tidak lagi dipandang sama di depan hukum dikarenakan dia telah tua, barang yang dicuri juga tidak seberapa dan untuk menghidupi diri saja dia sangat sulit. Bagaimana pula bila ia harus menghadiri sidang berkali-kali yang otomatis menelan biaya yang tidak sedikit.

Beberapa hari yang lalu, 17 September 2010 bertepatan dengan hari PMI (Palang Merah Indonesia). Saya menjenguk Ibu seorang teman yang sedang menjalani cuci darah di Rumah Sakit Medan. Saat menunggu cuci darah dan transfusi, saya keluar dari ruang cuci darah tersebut (hemodialisa). Saya berjalan ke pekarangan rumah sakit. Kebetulan pihak rumah sakit menyediakan tempat duduk panjang yang terbuat dari keramik di sana. Untuk melepas lelah, saya duduk.

Beberapa saat kemudian, datanglah seorang bapak setengah baya duduk di samping saya. Dia adalah orang yang saya temui di ruang HD tadi. Nafasnya tersengal, tapi tampaknya ia berusaha menahan agar nafasnya teratur. Dia mengeluarkan tupperware yang berisi obat-obatan dari tas kecilnya. Dia memberi kode pada saya minta tolong agar tupperware itu saya bukakan karena tangannya tidak lagi mampu. Berturut-turut saya membukakan obat dari kemasannya, membukakan botol minumannya dan menutupnya kembali.

“Anaknya tidak ikut pak?” Saya mulai obrolan.
“Ga, sendiri aja”
“emang bapak tinggal dimana?” tanya saya lagi sambil menatap jari kakinya yang tampak keropos bagai digigiti tikus. Jari kakinya yang sebelah kanan hanya tinggal 3 buah. Jempol, kelingking dan jari manisnya cuma yang tertinggal. Yang dua lagi entah kemana. Saya juga sungkan untuk menanyakan.
“Saya tinggal di B (sebuah kabupaten di Sumut yang berjarak 2 jam dari Medan). Tiap cuci (darah) saya sendiri”
“emang bapak ga punya keluarga?”
punya sih, anak saya ada 6 orang, semuanya sudah dewasa dan masih sehat. Saya juga masih punya istri, tapi mereka sudah tidak ada yang peduli. Memang saya pantasnya cuma mati saja, karena bekerja juga sudah tidak bisa” lirihnya.

“udah berapa tahun cuci pak?” saya makin penasaran
“sudah 2 tahun, awalnya saya marah sama istri saya, kenapa dulu dimulai cuci darah. Sebenarnya saat itu saya lebih senang kalau mati saja. Dan betul saja, sekarang mereka sudah bosan dan menganggap saya tidak ada” katanya lagi.
“cuci darahnya kan lancar saja pak?”
“sampai sekarang sih lancar, tapi ongkos untuk kemari saja saya sering tidak punya. Belum lagi jika HB saya turun, saya harus beli darah. Uang dari mana coba?”
“jadi selama ini uang dari mana pak?”
owh, saya buka lapak judi di rumah. Saya ambil uang kartu per plat tiap hari. Dari situlah saya dapat uang makan, ongkos cuci darah dan untuk beli darah tiap bulan karena saya sudah tidak bisa bekerja yang lain”
“emang ga takut dirazia pak?”
“Yah masalah itu saya sudah pasrah saja, kalau memang dirazia berarti bulan depannya saya mati karena tidak ada uang makan dan uang cuci serta beli darah, ngomong-ngomong, saya mau permisi dulu ya, udah malam nih, mau pulang dulu” dengan tertatih si bapak pergi.

Saya masih tertegun, mau menangis miris. Saya tidak bisa membayangkan jika akhirnya benar rumahnya dirazia oleh polisi, tamatlah riwayat si bapak. Tapi mungkinkah bapak tersebut mendapat izin khusus untuk menyediakan lapak judi?

Maka dari itu tidak sepantasnya semua manusia itu sama di depan hukum. Banyak hal-hal yang sama sekali kita tidak mengerti mengapa orang melakukan sesuatu bentuk tindakan yang kita namai kejahatan. Saya tidak bermaksud membuat satu stigmatisasi kejahatan. Tapi ada baiknya kita memandang luas sebuah masalah secara komperehensif sebelum memvonis.

Standart ganda di depan hukum menjadi satu terobosan paling manusiawi yang bisa kita buat untuk orang-orang yang kurang beruntung. Sama seperti saat kita menjustifikasi seorang pelacur. Mungkin bila kita ada di posisinya, melacur juga akan kita jalani.


Open Comments

Posting Komentar untuk "Bolehkah Judi Dihalalkan Saja untuk Bapak Ini?"