Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kebahagiaan Sesungguhnya

Kebahagiaan Sesungguhnya

Aku harus berterimakasih pada angin,karena angin membantuku mengayunkan langkah-langkah kakiku.ketika kaki kuayunkan, sapuan angin mendorongnya ke depan, dengan kata lain,  aku akan terus berjalan ditempat andai saja angin tak membantu kakiku.

"kenapa pa?" istriku menyapa dari balik pagar rumahku.Dandanannya menor sekali,pasti dia ingin pergi ke arisan ibu-ibu yang tak bermutu itu.

"gimana kata dokternya?" tanyanya lagi disaat aku berpikir untuk menjawab pertanyaan nomor satu.matanya terus menyelidik ke atas alis mataku,yang dihiasi gelombang-gelombang kulit berkerut sperti gurun pasir.

"ditanya kok malah bengong?"tanyanya lagi saat aku sudah mendapatkan jawaban yang pas untuk pertanyaannya yang belum sempat aku jawab. Tapi kemudian malas aku menjawabnya karena kulihat dia seperti buru2 dan merasa urusannya yang tidak penting itu adalah sesuatu yang harus dipatuhi tepat waktu melebihi perintah tuhan yang boleh diulur-ulur.
.
"Begini..."aku mulai bicara

"eh...bu Lisa,barengan Yuk!"

"eh Bu Titi kebetulan nih mobil saya sedang masuk bengkel"

"mama pergi dulu ya pa!,daaag..."

semua tiba-tiba hening ,tinggal dengung tawa istriku dan temannya yang mengisi ruang pendengaranku.Tawa-tawa renyah seolah tak ada salah apalagi masalah.

"papa kok kayak baju nggak disetrika gitu sich,kusut terus"putriku menyambutku dengan ceramah tanpa judul di depan pintu.Dasar anak tak tahu diri,bukannya perhatian,kalau bapaknya sedang banyak masalah eh malah berkhotbah.

"icha pergi dulu ya pa!"baru kusadari ternyata sedari tadi di ruang tamu ada seorang anak lelaki ingusan sedang menunggu Icha,putriku yang tak beradat itu.Pasti lelaki inipun tak beradat pikirku.Dengan tawa bergemuruh mereka meninggalkanku sendirian.

kupandangi cermin yang terpasang di dinding kamarku.Didalamnya terlihat seorang pria berusia 40 tahun,mungkin lebih.Ingin sekali aku bercerita padanya,mungkin ia mau dengar.

"bapak terlalu banyak berpikiran negatif"

"maksudnya dok?"

pertanyaan seperti ini sering membuatku geli tanpa tawa.Dok is dog.Tapi aku yakin dokter ini tak tahu kalau aku memanggilnya "dok" dalam bahasa inggris.

Walapun sudah melakukan apa yang dikatakan dokter itu,tetap saja aku tak bisa tertawa bahkan tersenyum.Penyakit yang menghantuiku sebulan ini.Sejak tetanggaku menambah rumahnya dua tingkat ke atas.Sejak teman sekantorku promosi jabatan.Sejak kucing istriku melahirkan 6 ekor anak sekaligus.Gila.Sementara aku memberi satu anak saja perlu waktu 10 tahun.Dan ketika di desak untuk dapat anak laki-laki kontan saja aku ragu.Dasar kakek - kakek jaman sekarang,apa sih bedanya anak laki-laki dengan anak perempuan,paling yang berbeda cuma kemaluannya dan lebihnya tak ada lagi.

Itulah satu paragraf hidup yang membuatku seperti sekarang ini. Tak bisa tertawa.Awalnya aku merasa hal ini karena aku kelelahan dan atau karena teralu banyak pikiran.Akh manusia sekarang,apa saja dibuat asal bisa jadi pusat perhatian."kebanyakan pikiran", Mungkin suatu istilah yang akan membuatnya jadi pusat perhatian.Wah..apa gunanya tuhan bikin otak segini besar kalau bukan untuk berpikir banyak hal.Atau tuhan yang telah keliru menciptakan tempurung kepala sebesar ini.

Ah.Udang saja yang jadi pengibaratan untuk orang yang tak berajar ternyata juga punya otak.Yang aku tak tahu,berpikir atau tidak.Apakakh dokter udang di bawah laut sana juga menyarankan agar udang-udang pasiennya itu tidak berpikir terlalu banyak karena otak mereka kecil?"jangan berpikir kalau ikan-ikan besar itu akan memakanmu", setidaknya begitulah nasihat dokter udang agar para udang di laut tidak stress dan tetap bisa tertawa.

Meski sudah memaksa-maksakan diri untuk tertawa dengan satu paragraf lelucon,tetap saja aku tak mampu tersenyum apalagi tertawa. Kutarik-tarik dua sudut bibirku hingga membentu sampan.Yang kulihat di cermin bukan membuatku tertawa malah aku melihat seorang bodoh dengan beberapa helai uban didalam cermin itu. Sekeranjang udangpun tak bisa membuat aku tersenyum,meski lengkunngan tubuhnya seperti bibir Rowan Atkinson.

Papa udah makan tanya istriku,sudah jawabku,entah bohong entah tidak,aku lupa apa aku sudah makan atau belum.

"tadi ibu-ibu PKK berencana mengumpulkan sumbangan untuk anak-anak yatim piatu di sekitar kita ini pa" istriku oh aku lupa dia istri siapa,yang pasti dia baru saja buka cerita yang membuat aku menutup hdung.Mulutnya tidak bau, karena kalau bau aku tak akan menciumnya setiap malam. Tapi pembicaraannya yang membuat aku menutup hidung.

"alah ma...itu urusan mereka mau hidup bagaimana,kita jangan campurin, tokh kita gak kaya-kaya amat" kucoba pungkas.

"tapi.."
"ya udah kalau mama ada duit kasih aja entah Rp 5.000 kan cukup"

"Rp 5.000?"

"jadi...?"
"minimal Rp 50.000 pa"

"hah..itu gajiku setengah hari ma,apa mama pikir gak capek,lagian mereka tuh yang suka malas-malasan,jadi bodoh,jadi miskin"

"iihh papa" Icha nongol dari kamar,dari tadi sudah ku bilang kalau anak ini tak beradat,masa orang tua lagi ngobrol dia main potong aja.

"besok juga Icha mau nyumbang ke teman Icha yang hampir putus sekolah gara-gara gak ada biaya,dua bulan yang lalu bapaknya meninggal pa!" 
"nah ini dia, bapaknya meninggal kok kamu yang susah, dia putus sekolah kok kamu yang susah, kalian semua susah kok jadi papa yang kesusahan kalian buat?"

Dua wanita tercantik dirumah itu hanya bisa saling beradu biji mata.Sebab manusia paling tampan dirumah ini sangat berubah sebulan belakangan ini,Sejak tetangganya menambah rumahnya 2 tingkat ke atas. Sejak rekan sekantornya promosi jabatan, sejak kucingnya melahirkan enam ekor anak kucing yang mungil dan lucu.



Sore inipun masih sama anginlah yang membantuku melangkah,tapi sepertinya aku tak harus berterimakasih lagi,karena angin akan berhembus sesuka hatinya, kemana saja, kapan saja, dimana saja, sperti iklan operator selular yang melecehkan kaum kambing dan monyet.

Nasihat-nasihat dua makhluk di rumahku sebenarnya membuat aku malas pulang,kalau bukan karena lapar pasti aku enggan pulang. Kalau beli nasi di warung atau restoran aku tak mau.Aku pernah meihat cara kerja mereka,menanak nasi tak pakai baju, pastinya keringat mereka bercucuran ke nasi itu pikirku. Makan di rumah saja aku ragu, jangan-jangan istriku memasukkan racun ke dalam makananku karena ku sudah mulai gendut dan tak segagah dulu lagi.

Saat pintu rumah aku ketuk tak ada jawaban,dua kali, tidak ada sahutan, tiga kali, tidak ada yang membuka. Pasti mereka sedang keluyuran, batinku. Kubuka pintu,lampu tak ada yang hidup,kutekan saklar lampu, hampir copot jantungku, dua makhluk keluar dari meja.

"happy birthday to you.."

Dua makhluk itu bernyanyi-nyanyi merayakan pertambahan usiaku. Aku tahu mereka senang karena jatah umurku makin menipis. Kulihat di meja setumpuk kue tart diameter 30 Cm dan diatasnya ada lilin yang tak sempat aku hitung jumlahnya. Berikut lilin berbentuk angka 4 dan 0,dan sepucuk surat di sampingnya.
"selamat ulang tahun pa!"

"selamat ulang tahun pa!"

"iya"
Karena lelah aku langsung tidur tanpa menghiraukan dua makhluk yang baru mengucap selamat menghampiri limit umur kepadaku. Icha masuk ke kamarku.

"papa gak seharusnya seperti itu, kita niat bikin papa bahagia, tersenyum dan tertawa seperti sedia dulu,tapi papa nggak menghargai kita" di ujung kata "kita"nya Icha kurasakan ada nada bergetar seperti orang mau menangis, peduli amat. Aku tidur bersama lapar.

Paginya, selepas jogging seperti biasa aku membaca koran ditemani secngkir teh, seonggok tubuh yang sedang memasak dan secuil gadis yang hendak pergi sekolah.

Tiba-tiba saja aku tak mampu menahan senyumku, hal yang sudah dua bulan ini tidak aku lakukan, selanjutnya aku tertawa terbahak-bahak, hal yang sudah 3 bulan tidak aku lakukan.
"sepertinya papa udah menemukan kebahagiaannya lagi" ucap istriku

"rencana kita berhasil" teriak mereka kegirangan

"mungkin papa udah baca surat yang kita buat kemarin ma" icha berpendapat

"papa pasti udah ikut anjuran dokter" mama lagi

"atau papa senang dengan kejutan semalam?" Icha lagi

Langsung istriku mendekat ke arahku

"papa udah baca surat kami semalam pa?"

"surat apa?" aku balas tanya tanpa bisa berhenti tertawa

"yang kami taruh didekat kue ultah papa"

"ooh belum"

"mungkin papa udah ikut anjuran dokter Andi Ma" Icha menimpali, wajah mereka berseri-seri.
"bukan,bukan itu" jawabku terus tertawa

"jadi apa pa?" mereka penasaran,tapi wajah mereka terlihat gembira,karena orang tertampan di rumah itu sudah ceria lagi." ni mana baca korannya,Pak Edi,teman papa yang baru promosi jabatan jadi Kabag PT Elang Murni, dipecat karena terbukti melakukan korupsi, dan tetangga kita yang baru bangun rumah itu, tadi pagi dilarikan ke rumah sakit karena terserang stroke,dan kucing yang beranak enam itu sudah papa masukkan ke karung tadi pagi dan membuangnya di ujung gang" Ucapku panjang kali lebar sambil terus terbahak-bahak.

Dua makhluk tercantik di rumah ku itu kontan geleng-geleng kepala dan pergi begitu saja. Kulihat senyum yang ada di bibir mereka seperti tulisan di atas pasir pinggir pantai yang dijilat ombak, lenyap.
"eee..ee mau kemana?"

"mandi" jawab istriku sangat singkat

"eh Icha, kok buru-buru amat?, mau kemana?"

"kolah" jawabnya singkat dengan lima huruf tapi aku tahu,itu artinya sekolah."akh tawa memang bikin pintar"
Yang aku heran kenapa jadi mereka yang tak mau lagi tersenyum dan tertawa. Apa mereka tertular penyakitku disaat aku sudah sembuh?
Open Comments

Posting Komentar untuk "Kebahagiaan Sesungguhnya"