Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#20) Penyakit Aneh...

Karma Itu Ada (#20) Penyakit Aneh...

Tiara berhenti berlari, dia duduk. Aku yakin bukan karena lelah, tapi karena ingin menghabiskan waktu disampingku. Akupun duduk disampingnya, masih dengan sisa-sisa derai tawa di bibirku.
“ini hari terakhir Abang datang kemari” kata Tiara dengan mimik datar. Tak ada lagi remah tawa tadi. Aku masih berdiri di samping dia yang memeluk lututnya.
“kenapa begitu?”

“Abang udah jadi suami orang, saya ga mau kalau saya dicap orang sebagai wanita penggoda yang merebut suami orang. Kita memang pernah punya masa lalu, dan masa lalu itu sangat indah. Bahkan tak mungkin bisa dilupakan. Tapi kini semua itu tinggal kenangan, dunia kita telah berbeda”
“tapi Tiara..”
“tenanglah Bang, saya juga sudah bisa menerima kenyataan bahwa kita memang tidak berjodoh. Semua kenangan kita adalah hal terindah yang saya punya. Saya tidak bisa mengingkarinya. Tapi hanya sebatas itu. Tak lebih. Abang harus bisa mencintai Maria dengan sepenuh hati. Dialah istri sah abang sekarang”
Tiara.. Araku. Memang benar semua apa yang kau katakan. Tak ada yang salah. Tapi kenapa di matamu ada bening-bening mencair yang berlari satu demi satu melintasi hidung bangirmu? Kenapa kau hanya menatap kulit-kulit pohon yang mengelupas satu demi satu dimakan usia? Tidakkah lebih baik kalau kau menatapku agar aku yakin kalau perkataan itu datang dari hatimu?
“jangan menatapku seperti itu Bang, pulanglah. Saya baik-baik saja”

Tapi aku tak perduli dengan apa yang dikatakan Tiara. Aku pun duduk di sampingnya, mengambil sebiji buah pohon pinus. Warnanya coklat, aku bersihkan buah pinus itu. Aku tiup beberapa kali agar tanahnya tak ada lagi yang menempel. Setelah yakin kalau buah itu bersih, aku menyerahkannya pada Tiara. Tiara perlahan ragu menerimanya, tapi setelah aku tersenyum sambil mengangguk. Akhirnya dia terima juga buah yang sama sekali tak bisa dimakan itu.

“sebagai kenang-kenangan” ucapku. Tiara tersenyum, lalu merangkulku. Aku memeluknya hangat. Aku juga membelai rambutnya, mengelus punggungnya dan mengecup keningnya. Sejenak aku membersihkan sisa-sisa air mata di pipi ranumnya. Lalu kemudian mengecup bibirnya sambil memeluk dengan teramat keras. Aku yakin Tiara merasa sesak dengan pelukku. Namun, lewat sesak itulah aku ingin memberitakan betapa hatiku telah disesaki oleh cintanya juga. Betapa menyesakkannya hidupku tanpa Tiara.

Pelukku seperti tak ingin melepas Tiara. Aku tak kuasa merenggangkan tanganku. Aku hanya memindahkan kedua telapak tanganku ke sisi kiri dan kanan pipi Tiara sambil mencium bibirnya lebih dalam hingga kami berdua serasa tak di alam. Serasa di awan. Beberapa kali aku berusaha mencegah dan menolak. Tapi potongan-potongan pakaian kami yang melucut satu demi satu menggambarkan kalau aku tak memiliki kuasa atas ini semua. Desahan tiara disambut lengkingan burung-burung liar di pucuk-pucuk pohon pinus. Mungkin burung-burung itu tengah melintas dan tanpa sengaja melihat kami. Aku dan Tiara. Untung tak ada yang peduli pada desahan Tiara, bahkan pada lengkingannya sekalipun. Hingga kami ambruk tak berdaya pada jam 5 sore.

Ya, jam tanganku menunjukkan pukul 5 sore. Aku harus pulang. Terlebih dahulu aku mengantar Tiara ke pemondokannya.
“ini No Hp ku, hubungi saja kalau kamu ada perlu sesuatu” tutupku sambil mengecup keningnya.
Mobilku berlari meliuk-liuk mengejar waktu, penerangan sepanjang jalan yang minim tak ku hiraukan. Aku harus sampai di rumah sesegera mungkin. Sepanjang perjalanan, kelebat-kelebat Tiara dan Maria silih berganti mengisi memori otakku.

Namun, bayangan Tiara lah yang paling mendominasi. Aku sangat merasa berdosa padanya. Aku telah merusak kegadisannya.

Sebuah sms masuk ke ponselku “bg, kk Maria jatuh di kmar mndi”. Isi pesan itu membuatku kelabakan, laju mobil ku percepat. Sempat beberapa kali pengguna jalan yang lain memaki ku dengan kata-kata kasar. Tapi aku tak hirau. Di kepalaku hanya ada Maria. Untunglah jalanan tidak macet, jadi aku bisa sampai di rumah lebih cepat. Tapi rumah telah kosong, tak ada Maria di dalam.

**
“Sudah bangun sayang?”sapaku pada Maria. Jam 7 pagi saat dia terbangun, aku sendiri masih duduk terkantuk di sampingnya. Sesekali aku merebahkan kepala di tempat tidur Maria. Perawat yang biasa mendampingi Maria di rumah, sudah pulang.

Untunglah insiden itu tidak mengganggu keadaan janin di perut Maria. Aku lega sekali. Aku tak tahu harus bagaimana seandainya kandungannya terganggu.

Sebenarnya aku sangat lelah, lelah sekali. Setelah seharian di Huesca, menyetir dan semalaman menjaga Maria. Maria cuma tersenyum membalas sapaanku. Wajahnya masih pucat. Tanganku tetap menggenggam erat jemarinya, aku begitu mencintainya. Cintaku padanya sebenarnya putih, seputih kasur-kasur dan bantal rumah sakit ini. Seputih tirai yang membatasi padangan-padangan kami. Tapi kadang kala putih tak selalu suci. Kemarin aku telah menodai cinta kami. Dan aku sama sekali tak berharap kalau Maria tahu akan hal ini. Aku tak tahu apa jadinya dunia Maria dengan tragedi ini.

Tapi tiba-tiba saja kepalaku pusing, linglung. Tatapan mataku berpendaran. Tak fokus. Kucoba berdiri sambil memegang ujung tempat tidur Maria. Tapi aku malah terjatuh. Untung seorang dokter masuk dan langsung memapahku.
“anda baik-baik saja pak”
“ya saya baik-baik saja”
“Tapi wajah anda kelihatan pucat”
“mungkin karena kelelahan saja dok, karena semalaman ga tidur”
“baiklah, tapi sebaiknya anda tetap menjaga kesehatan anda sebab Bu Maria senantiasa akan membutuhkan tenaga anda di saat-saat kehamilannya ini”
“terima kasih dok, saya akan selalu menjaga kesehatan saya. Ini juga demi cinta saya pada Maria” lalu Hp ku bergetar. Aku hendak keluar kamar perawatan untuk membaca sms itu :
“Bang, kapan ke Huesca lagi..??” begitulah sepotong pesan yang kubaca di layar ponselku sebelum akhirnya aku jatuh ambruk. Tak sadarkan diri.

Mungkin 15 menit lamanya aku tidak sadarkan diri, tatapan dokter itu juga mulai tak ramah padaku. Iya aku salah. Namun aku tak mau berurusan masalah pribadiku dengannya. Dia hanya seorang dokter, tugasnya mengobati aku dan Maria. Bukan menginterogasi isi sms ku. Tapi peristiwa pingsanku itu tadi benar-benar mengejutkanku. Perasaannya sama ketika dulu aku jatuh di kamar mandi rumahku. Saat itu aku juga pening dan pandanganku berpendar. Tak fokus. Padahal sebelumnya aku merasa baik-baik saja. Berat badan dan tensi darahku juga normal-normal saja.
**

Bersambung

Cerita Sebelumnya Baca di sini
Cerita Selanjutnya baca disini
 
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#20) Penyakit Aneh..."