Karma Itu Ada (#4) Lelaki yang Dibeli
“aku akan menjadi pria pertama yang dibeli oleh wanita dikampung itu…..”
cerita sebelumnya baca disini
Dari kematian wanita itulah hidup kami mulai tak tenang. Adikku babak belur dihajar massa. Aku kasihan sekali, tapi aku tak mampu membela. Aku hanya mengutuk. Sejak kapan mereka meniru cara orang kota untuk menyelesaikan masalah?. Bapak dan ibu jadi bahan cemoohan. Keluargaku berada di ambang kehancuran. Adikku akan dipenjara. Dia harus bertanggung jawab atas kematian ibu yang tragis itu.
Berita ini terdengar hingga ke desa lain. Bahkan surat kabar lokal memasukkannya jadi headline. Memang kejadian itu adalah murni kecelakaan. Tapi karena termask kejadian langka, maka jadilah ia santapan empuk untuk dibicarakan.
Malamnya suami si wanita yang tewas tragis itu mendatangi rumah kami. Ia membawa parang. Parang yang tak lagi bersarung. Di kampung, membawa parang haruslah dengan sarungnya dan diikatkan di pinggang. Hal ini punya nilai tersendiri. Bila si pemilik parang membawa parang tak bersarung, artinya ia sedang dalam keadaan marah besar. Dan tak kenal kata kompromi lagi. Bila parang masih bersarung, namun tidak lagi diikatkan ke pinggang.
Artinya ia dalam kemarahan besar, namun masih mau kompromi. Di kampungku, parang yang selalu dibawa keluar rumah pastilah sangat tajam. Apalagi dibawa oleh lelaki. Parang yang dibawa wanita biasanya lebih tumpul daripada yang dibawa lelaki.
Adikku bersembunyi di kamar. Tepatnya disembunyikan. Wajah lebamnya belum berkurang. Ia nampak begitu shock dengan kejadian siang itu. Bahkan masih ada darah mengalir dari sudut bibirnya. Tampak di belakang pria kalap tadi ada sekitar 5 orang berbadan tegap mendatangi lokasi rumah kami. Mereka pasti jagoan kampung yang memihak si pria. Bapakku juga seorang pendikkar (pendekar) atau orang yang menguasai ilmu beladiri moccak (pencak silat). Tapi kali ini kami ada di posisi yang salah. Lagipula kami tak ingin ada lagi darah yang tumpah. Kami ingin musyawarah. Tapi tampaknya mereka begitu marah.
“Hey, Arman! Bayu! Keluar kalian biar aku habisin” jantungku berdegup cepat. Bayu adalah nama bapakku dan Arman adalah nama adikku. Kakakku tampak menangis di dapur sambil mengayunkan anaknya. Iparku juga hanya bisa diam seribu bahasa. Bila mereka memanggil dengan sebutan nama, artinya hormat mereka sudah hilang pada bapak. Di kampungku, memanggil orang yang telah berkeluarga haruslah dengan sebutan nama anaknya yang tertua. Bila anak tertuanya bernama X, maka bapaknya harus dipanggil “Bapak X”. Penyebutan nama langsung adalah tabu dan tidak sopan.
“Hey Arman! Bayu! Kenapa kalian diam? Keluar kalian, biar kutebas kepala kalian” jerit dari halaman itu mengundang kedatangan tetangga sebelah. Aku kasihan pada bapak. Dia jadi terlibat. Memang di sini, tingkah anak wajib dipertanggungjawabkan orang tuanya. Tak ada orang yang berani mendekat. Aku juga. Sebenarnya ini adalah kelebat-kelebat kisah yang seperti mimpi saja bagiku. Sepertinya aku menonton film India. Aku seperti tidak yakin kalau ini nyata.
Ibu ke dapur. Bergabung dengan kakak. Ia sudah kehabisan kata dan air mata. Tinggal aku, iparku dan bapak yang ada di ruang tamu. Mengintip keluar sambil berpikir tentang apa yang akan kita lakukan.
“Gimana Mar? Kau sanggup melawan mereka? Dua dari mereka biar aku yang tangani. Kau sms pamanmu biar datang. Tiga dari mereka harus kalian selesaikan. Ambil parang bapak di kamar”
Kulihat orang-orang makin bergerombol di tepi halaman kami yang ditumbuhi bunga-bunga liar.
Warga juga terlihat tegang, tampaknya mereka akan melihat film India secara langsung. Aku tidaklah takut berhadapan dengan mereka. Aku sudah terbiasa berkelahi. Tapi ini bukan perkara menang atau kalah. Karena aku ingin menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.
Warga juga terlihat tegang, tampaknya mereka akan melihat film India secara langsung. Aku tidaklah takut berhadapan dengan mereka. Aku sudah terbiasa berkelahi. Tapi ini bukan perkara menang atau kalah. Karena aku ingin menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.
“Jangan melamun Mar, ambil parang bapak di kamar!” perintah bapak lagi.
“Tidak boleh ada pertumpahan darah pak”
Segera aku buka pintu. Aku keluar. Aku boleh menjadi sasaran amuk mereka. Jangan bapakku.
“Mardi! Aku tidak ada urusan denganmu. Cepat panggil bapak dan adikmu! Aku ingin mereka tahu rasa dinginnya parangku ini”
“Lalu setelah kau membunuh bapak dan adikku? Kau pikir kau tidak akan mati dipenjara?” aku mencoba berdiplomasi.
“Diam Kau! Aku tidak ada urusan denganmu. Cepat panggil mereka! Atau aku yang obrak abrik rumah kalian” tampaknya kesabaran dia sudah hilang. Dia maju beberapa langkah, aku bergeming. Tidak mundur. Tampaknya dia mulai membuat pertimbangan juga.
“Tenang Gus! Kau tidak akan dapat keuntungan apa-apa dengan begini. Seluruh warga akan menjulukimu pembunuh dan kau akan dipenjara. Aku ingin kita menyelesaikan ini dengan damai”
aku kembali mencoba menciptakan ketenangan, meski nyaliku naik turun.
“akh terlalu banyak cakap kau” yang dibelakang Agus melompat, menerjangku. Aku tersungkur mundur dua langkah. Nyeri di dadaku. Aku hanya mengenal Agus. Dia dua tahun di atasku. Tapi aku tak mengenal teman-teman yang dibawanya ini.
“Aku bilang sabar saudara-saudara! Ini tidak menyelesaikan apa-apa” aku masih ingin dengan jalan damai.
Namun, kesabaranku kembali diuji. Orang yang ada di sebelah kanan Agus mendatangiku. Dia mencoba meninju wajahku. Aku mengelak dan berputar ke belakangnya sambil memutar tangannya lalu mendorongnya dengan lututku hingga ia tersungkur.
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#4) Lelaki yang Dibeli"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta