Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#7), Aku Beristrikan Wanita Cacat yang Sama Sekali Tak Kucintai

Karma Itu Ada (#7), Aku Beristrikan Wanita Cacat yang Sama Sekali Tak Kucintai


Kini keputusan ada di tanganku. Jika aku mengiyakan kehendak bapak, berarti aku harus melupakan Tiara. Jika aku tetap bertahan dengan Tiara. Berarti aku harus siap melihat adik dan ayahku masuk penjara. Aku meninjui dinding kamar. Aku tak tahu lagi harus menyalahkan siapa. Ini adalah simalakama terbesar yang pernah aku temui dalam hidupku. Dadaku menyesak. Bapak juga mengatakan kalau aku masih sendiri, tanpa pacar atau calon istri. Apa aku harus marah pada bapak? Aku tidak tega juga, bapak sudah terlalu banyak berkorban.

Hingga akhirnya aku memilih diam. Aku memutuskan untuk berkorban. Ku korbankan masa depanku, kukorbankan Tiaraku, kukorbankan cinta yang selama ini telah kami semai bersama. 

**

Sejak kejadian itu, kata ibu. Tiara tak pernah lagi terlihat di kampung.
Aku sendiri kini tinggal di kota tempat istriku ini lahir. Huh. Masih saja janggal rasanya ketika aku harus memanggilnya dengan sebutan istri. Ada rasa terimakasih juga tertanam padanya dan keluarganya. Meski dengan begini aku sangat tersiksa. Tapi mereka telah membantu adik dan bapakku agar tidak masuk penjara. Bila saja itu terjadi, aku tahu kalau ibu bisa mati. Kapan lagi saatnya aku bisa membalas kebaikan orang tuaku. Cintaku pada Tiara memang tak akan pernah pupus. Namun cintaku pada orang tuaku tidak memiliki kata akhir.

Aku tidak lagi peduli dengan kata-kata orang yang mencibir keputusanku. Menikah dengan Maria adalah pilihan terbaik. Teman-temanku yang baru di kota ini bahkan mengatakan kalau aku matre. Mereka bilang kalau aku menikah hanya untuk harta Maria. Biarlah mereka berpikiran begitu. Aku tidak peduli. Tak banyak memang orang yang tahu dengan hal ini. Jujur saja. Aku juga tak berniat untuk memberi tahu.

Malam itu mertuaku datang. Mereka adalah ibu dan bapakku yang baru. Mereka sebenarnya sangat baik. Mereka akhirnya memberikan uang yang telah dijanjikan pada orang tuaku. Bahkan memberikan lebih dari perjanjian sebelumnya. Dan untuk kami juga. Mereka menyediakan rumah dan mengatakan kalau aku akan ditempatkan di sebuah perusahaan miliknya di kota Medan. Semua ini mereka lakukan tak lain dan tak bukan hanyalah untuk membahagiakan putri mereka satu-satunya. Sebab menurut mereka, Maria selalu menjadi pemurung pasca kecelakaan mobil yang membuat ia kehilangan kedua kakinya. Sejak kecelakaan itu, Maria tak pernah bahagia, pacarnya yang dulu begitu mencintainya juga pergi tanpa permisi. Menghilang.

Mereka memilih aku karena catatan hidupku yang masih bersih. Disamping itu aku juga memiliki tampang yang disukai putrinya. Sayangnya mereka memanfaatkan kekacauan keluarga kami untuk mengikatku. Iya aku dibeli oleh mereka. Di sisi itu aku marah pada mereka. Tapi melihat sisi yang lain, aku salut atas cinta mereka pada Maria. Sebenarnya Maria punya dua saudara lelaki. Mereka juga sibuk mencarikan jodoh untuk Maria. Tapi tentu sulit mencari pria baik-baik yang mau beristrikan wanita cacat begini. Memang ada beberapa lelaki yang sudi. Namun bapaknya Maria juga selektif. Ia tidak mau keluarganya hanya jadi tambang dari menantu yang baru.

Setelah mendapat kabar dari kampung tentang terdesaknya bapak akan biaya. Kedua mertuaku ini beritikad baik untuk membantu. Tapi ketika melihatku, mereka langsung berubah pikiran dan berniat membeli aku. Di kampung itu, memang aku adalah pria pertama yang dibeli oleh pihak wanita untuk dijadikan suami.

Bagiku, ini adalah cobaan. Beristrikan orang yang baru ku kenal. Aku tak mempermasalahkan kecacatannya. Tidak. Sama sekali tidak. Aku telah terbiasa hidup dengan orang-orang yang memiliki kecacatan serupa. Memiliki kekurangan lahiriah tak selamanya membuat batin menjadi miskin. Apalagi di rumah memang ada perawat yang selalu siap dengan segala kebutuhan Maria. Yang menjadi cobaan bagiku kali ini adalah bagaimana caranya mencintai Maria. Sementara di lubuk hatiku yang paling dalam masih ada Tiara. Aku tak belum berani memasukkan Maria secara utuh ke hatiku. Aku takut. Saat dia masuk, dia akan melihat ada Tiara disana. Dia bisa murka.

Sebisa mungkin aku menjadi suami yang baik bagi Maria. Kukerahkan seluruh kemampuan humorku. Kukerahkan semua senyum yang ku tabung-tabung untuk masa depanku. Kini hanya Maria lah penguasa tunggal atas diriku. Setiap senyum yang keluar dari bibir Maria adalah senyumku juga. Setiap kali berhasil membuatnya terkekeh, aku seperti baru saja memenangkan lotere.

“Mar, makasih ya atas pengorbanan kamu. Kami tahu ini sulit bagimu. Mungkin kamu juga marah dengan kenyataan yang tak bisa kamu tolak ini. Tapi kami mohon pengertian kamu. Tolong bahagiakan Maria. Dia putri kami satu-satunya. Sayangnya nasibnya kurang baik setelah kecelakaan itu. Kami percaya padamu Mar. Tadi kami melihat senyum kembali mengambang dari bibir Maria. Itu artinya dia telah menemukan kebahagiaannya kembali setelah bersama kamu. Jangan buat dia patah hati untuk kedua kalinya ya Mar. Kami mohon”

Ucapan Mamanya Maria ketika mendatangi rumah kami. Wejangan yang membuat aku remuk redam. Keadaan hatiku masih labil. Aku masih belum percaya atas kenyataan ini. Takdir ini begitu lihai mempermainkan aku.

bersambung…

cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
 
NB: Tulisan ini adalah kisah nyata yang saya fiksikan, terjadi di sebuah desa di Sumut. Untuk kelanjutan kisah ini, saya menunggu respon dari pembaca. Mudah-mudahan bisa jadi novel yang utuh.
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#7), Aku Beristrikan Wanita Cacat yang Sama Sekali Tak Kucintai"