Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Maria Hamil, Karma Itu Ada (#17)

Maria Hamil, Karma Itu Ada (#17)

“mbak, tadi ada lihat perempuan disini tidak?” tanyaku pada salah seorang pelayan.
“dimana Bang?” tanya pelayan itu

“disini” tunjukku pada sebuah meja yang tadi diduduki oleh Tiara, aku yakin itu Tiara. Aku masih percaya dengan penglihatanku.

“tidak ada bang, dari tadi memang kosong mejanya itu” sanggah sang pelayan.
“akh, masa sih saya salah lihat mbak?” aku masih tidak percaya. Lalu aku mendatangi kedua meja yang berisi yang lain. Jawaban mereka juga sama. Mereka mengaku tak melihat satu orangpun di meja itu sejak tadi. Padahal jelas di atas meja itu masih ada tetasan air yang mungkin bekas Tiara minum tadi.

Di tengah kekalutanku, ku dengar Dody memanggil-manggil namaku.

“yaudah makasih ya” ucapku pada mereka dan mereka membalas ucapanku dengan senyum dan anggukan.
“dari mana aja Mar? Beli tali aja satu jam” Dody ternyata menyusulku. Lalu kuserahkan saja tali itu. Tak mungkin aku mengatakan aku baru saja melihat Tiara. Tapi wajahku yang terlihat shock sepertinya mampu dibaca oleh Dody.

“kenapa kamu Mar? Muka kamu pucat kayak baru lihat hantu gitu”

“akh, bisa aja kamu, tadi aku keliling sebentar lihat-lihat situasi” aku mengelak.

Di perjalanan pulang aku hanya bisa melamun. Maria tampak kelelahan. Dia tidur di bahuku. Tanganku mengelus rambut Maria yang halus. Namun pikiranku terbang ke Huesca, tempat aku melihat Tiara. Akh, mengapa Tiara sampai ada disana? Atau memang penglihatanku yang salah?. Sebenarnya aku tak perlu begitu memikirkan Tiara, karena memang aku yang meminta dia melupakanku karena masalah keluarga yang membelitku. Namun kemunculannya yang tiba-tiba itu seperti memintaku untuk menyelesaikan sesuatu yang masih tertunda. Akh, maafkan aku Tiara.

Jalanan yang sunyi membuat aku leluasa berkhayal. Sesekali Dody melirikku. Sebagai orang yang selalu dekat denganku, aku yakin kalau dia mulai curiga dengan perubahan ekspresi wajahku. Pepohonan berlarian mundur menentang laju mobil. Beberapa kendaraan yang berpapasan dengan kami telah menyalakan lampu. Pertanda malam sebentar lagi menyapa. Maria masih tertidur tanpa dengkur. Melihat wajah polos Maria, apa yang akan dilakukannya jika mengetahui aku ada masa lalu dengan seorang gadis dan masa lalu itu belum sepenuhnya tuntas?

**
Aku menggendong Maria yang masih tertidur masuk ke dalam rumah. Aku membaringkannya di kamar. Tadi kami terlebih dahulu melewati rumah Dody. Baru dari rumah Dody aku yang menyetir. Sebenarnya Dody ragu melihatku. Tapi setelah kuyakinkan, akhirnya dia pasrah saja.
**

Hari ini permintaan Maria adalah buah kuini. Lagi-lagi aku harus keliling mencari buah itu. Huh, dasar istri yang manja. Handphoneku bergetar, ada telepon dari rumah.

“Bang, cepat pulang ya, Kak Maria muntah-muntah terus” suara perawat dari rumahku.
Dengan hati tak tenang aku meluncur cepat ke rumah. Di rumah kudapati Maria tengah duduk di kursinya dan disuapi makan oleh si perawat. Meski wajah Maria tampak lelah, tapi selalu ada senyum disana. Aku mengambil alih piring dari si perawat dan menyuap Maria.

“Emang ada apa tadi dik?” tanyaku pada suster.
Namun mereka hanya senyum-senyum. Akhirnya suster itu mengatakan kalau Maria tengah hamil 3 bulan. Aku langsung memeluk Maria dengan cinta. Mengelus perutnya dan mencium keningnya. Aku bertanya kenapa selama ini tidak ada tanda-tanda. Lalu si perawat menjawab kalau tanda-tanda itu selalu dirahasiakan oleh Maria. Katanya Maria ingin memberi kejutan padaku.

Esoknya dapat ditebak. Kedua mertuaku datang ke rumah. Mendengar kabar ini sepertinya kegembiraan mereka tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Berulang kali mereka mengelu-ngelukanku sebagai pilihan mereka yang paling tepat.

Seperti kedatangan Pak Simon dulu, kali ini Pak Surya membawa ayam panggang khusus untukku. Aku tak tahu mereka dapat info dari mana tentang kegemaranku dengan makanan ini. Tanpa basa basi akhirnya makanan itupun ludes untukku seorang.

Kehamilan Maria membuat cintaku padanya semakin menjadi. Dalam hati aku merasa telah sempurna menjadi seorang lelaki. Orang tuaku yang kukabari di kampung juga merasakan hal yang sama. Namun kegembiraan mertuaku tampaknya melebihi kegembiraan orang tuaku sendiri. Mertuaku merasa kalau mereka telah menemukan anak mereka yang hilang. Entah mengapa Maria begitu ceria setelah mengetahui kehamilannya itu. Tiap pagi selalu saja ada senandung yang keluar dari sepasang bibir tipisnya.

Cerita sebelumnya baca di sini
Cerita Selanjutnya baca di sini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Maria Hamil, Karma Itu Ada (#17)"