Penyakit Aneh, Karma Itu Ada (#13)
Alarm sedari tadi telah berdering, namun kantukku merajam. Mungkin kelelahan tadi malam, pikirku. Tapi aku merasakan panas yang di dahiku. Serasa tidak percaya, kupaksakan bangun. Tubuhku oleng. Aku hilang keseimbangan hingga badanku ambruk di depan pintu. Maria mungkin sudah bangun sedari tadi. Tapi aku tak tahu dia dimana. Kupaksakan untuk berdiri lagi, namun sulit. Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, ku papah langkahku menuju kamar mandi. Saat tiba di kamar mandi, aku tiba-tiba mual dan muntah. Seluruh isi perutku terasa keluar. Sakitnya bukan main. Aku meringis kesakitan. Tapi seperti tak ada yang peduli.
Untuk kedua kalinya aku terbangun. Namun kali ini aku tak sendiri. Kulihat Maria tersenyum di depanku. Senyum itu asing, bukan senyum SPG penjual rokok edisi terbaru. Bukan juga senyum manekin yang dipajang di lemari kaca. Senyum itu seperti senyum seseorang yang sedang mengalami kelegaan yang dalam. Aku tak mampu mengartikan senyum itu lebih jauh, sebab mataku belum begitu bisa melihat dengan jelas.
Maria ada disamping kiriku. Tangan kanannya diletakkan di ujung kepalaku sambil mengelus rambutku. Aku masih terbujur. Seorang dengan seragam putih datang mendekat ke arahku. Tampaknya dia adalah seorang dokter. Baru aku sadar ternyata aku sedang berada di rumah sakit. Pantas saja sedari tadi aku sulit mengenali tempat ini.
Dokter tersebut memeriksa mataku. Kemudian dia mengangguk-angguk. Diletakknnya jemarinya di perutku. Kemudian dia mengangguk lagi. Enak benar ya jadi dokter, tugasnya cuma memegang-megang dan mengangguk-angguk.
“cuma kelelahan kok” ucap sang dokter.
Tak berapa lama dokter tersebut beranjak diikuti oleh Maria dari belakang. Di depan pintu, sang dokter tampak bercengkrama akrab dengan Maria. Seperti sudah saling kenal saja. Beberapa kali dokter itu kulihat terpaksa membungkukkan badannya untuk bicara kepada Maria. Posisi Maria yang ada di kursi roda kelihatan tak menghalangi keakraban mereka. Obrolan itu ditutup setelah sang dokter menuliskan sesuatu di atas kertas dan memberikannya pada Maria.
Kata Maria, aku tak perlu diopname. Peristiwa pingsanku tadi di kamar mandi adalah murni karena kelelahan.
“Kerjanya jangan dipaksain ya bang!”
“paksa gimana, kan cuma kerja biasa. Dokternya mungkin yang salah periksa. Mungkin aja ada penyakit lain ya?” sanggahku
“itu dokternya udah diakui loh bang, makanya kami sekeluarga kalau sakit periksanya sama dia aja” Maria membela dokternya.
“itu dokternya udah diakui loh bang, makanya kami sekeluarga kalau sakit periksanya sama dia aja” Maria membela dokternya.
Aku tentu saja ingin protes besar pada si dokter. Karena sakit yang tadi aku rasakan adalah sakit yang bukan main-main. Rasanya dunia ketika itu langsung runtuh, perutku sakit tak tertahan. Bahkan hingga aku pingsan. Untung saja disela kemarahanku itu, perlahan perut dan kepalaku tak lagi sakit. Analisa dokter tersebut untuk sementara dapat kuterima. Walau hatiku penuh tanda tanya.
Aneh, manjur benar obat si dokter. Baru satu kali resepnya aku minum, sakit yang aku rasakan tadi seperti sirna begitu saja. Sakit yang tadi mampu membuat aku pingsan tiba-tiba tak terasa lagi. Memang tak salah istriku menjadikan dokter tersebut sebagai dokter langganan.
Esoknya, aku sudah bisa bekerja kembali.
“Dari mana kemarin?” tentu saja Dody duluan yang menanyai aku.
“iya kemarin aku pingsan di kamar mandi” ucapku jujur.
“Oalah, emang kenapa, kamu darah rendah ya?”
“ga kok, cuma darah muda”
“hahaha… baru sakit langsung becanda. Kirain kemarin kamu perpanjang masalah sama Gilang”
“Ga lah, orang kayak gitu kenapa diurusin”
“Dari mana kemarin?” tentu saja Dody duluan yang menanyai aku.
“iya kemarin aku pingsan di kamar mandi” ucapku jujur.
“Oalah, emang kenapa, kamu darah rendah ya?”
“ga kok, cuma darah muda”
“hahaha… baru sakit langsung becanda. Kirain kemarin kamu perpanjang masalah sama Gilang”
“Ga lah, orang kayak gitu kenapa diurusin”
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Penyakit Aneh, Karma Itu Ada (#13)"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta