Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Tiara di Heusca, Karma Itu Ada (#16)

Tiara di Heusca, Karma Itu Ada (#16)

“iya, tadi ketika turun dari mobil, aku lama terpesona dengan tempat ini. Ada aura-aura cinta yang seperti mengelilingi tempat ini. Sepertinya tempat ini khusus untuk cinta yang murni” ucapku.

“aku sendiri mengenal tempat ini dari istriku. Sebelumnya cinta kami juga mengalami hambatan restu dari orang tua masing-masing. Alasannya klasik amat, masa depan tidak jelas lah, tidak serasi lah dan lain-lain. Untungnya kami mampu meyakinkan orang tua kami masing-masing” curhat Dody.

Hari beranjak siang, namun terik matahari tak mampu mengintip kami. Pepohonan yang rindang melindungi kami dari senyumnya. Istri Dody menggelar makanan di atas tikar. Kami pun makan siang dengan lahap. Makan siang di tempat seperti ini mungkin menjadi keinginan setiap orang. Ditemani kicau burung, bunyi gemericik air, keciplak ikan yang berusaha lepas dari kail dan irama tiupan angin menerpa dedaunan. Minggu itu tak banyak keluarga yang berkunjung kesana. Mungkin karena sekarang adalah tanggal tua hingga mereka harus berpikir untuk datang kemari. Memang biaya kemari tidak lah mahal. Sewa tempat untuk menggelar tikar juga hanya 50 ribu rupiah saja.

Kami dan para pengunjung lainnya juga tidak merasa keberatan dengan uang dan tata tertib tempat itu. Peraturan standart dimana-mana yakni tidak boleh merokok, tidak boleh buang sampah sembarangan, tidak boleh membawa obat terlarang, tidak boleh membawa senjata tajam, senjata api, minuman keras dll. Sepertinya hingga saat ini ahli waris tempat ini masih menjunjung tinggi amanah temannya untuk membahagiakan hati orang-orang yang terluka, terlebih karena cinta yang tak direstui.

Hari semakin sore. Kami berkemas untuk pulang. Maria kuperintahkan untuk duduk saja disamping mobil Kijang kami. Aku merasa makin mencintai Maria karena tempat ini. Ada perasaan menggebu, cinta yang makin mendalam untuknya di sore ini.

“duh, talinya putus nih” istri Dody, Mila, tanpa sengaja memutuskan tali untuk membungkus barang-barang yang tadi kami bawa.

“yaudah tunggu sebentar biar aku beli” kataku
Dengan sigap aku berlari menuju tempat hunian para pengelola yang juga memiliki toko-toko perlengkapan camping. Bangunan itu terbuat dari kayu 90 % nya, kayu jati mungkin. Beberapa hiasan khas Batak tampak memagari dinding-dinding depannya layaknya ornamen menakjubkan. Dindingnya yang mengkilap menambah eksotisme bangunan itu. Dody bilang disinilah ahli waris tempat ini tinggal. Di tempat itu mungkin cuma ada 5 bangunan rumah yang dua diantaranya adalaha toko perlengkapan. Dua satu kafe, merangkap restauran. Satu bangunan lagi untuk tempat pengelola dan sisanya untuk tempat karyawan. Kelima bangunan itu menghadap ke selasar yang sama.
“baru pertama datang kemari ya bang?” Sapa salah seorang penjaga toko saat temannya mengambil tali pesananku.

“iya nih, tempatnya asyik ya, jadi pengen sering-sering kemari”
“ahhaha” gadis itu tertawa kecil mendengar pujianku. Gadis yang manis, pikirku. Dengan senyum seperti itu, lesung pipi kecil di kiri dan kanan pipinya, tatapan matanya yang ramah, siapa pula yang bisa bosan di tempat ini.

Saat pesananku akan datang, tiba-tiba mataku tertuju ke kafe di sebelah. Alangkah terkejutnya aku melihat Tiara disana.
“Tiara!!” panggilku. Gadis itu menoleh lalu melanjutkan minumnya.

Aku kaget seperti melihat hantu. Jantungku berdegup kencang. Setelah menerima tali pesananku, aku langsung cepat-cepat membayar. Dengan tergesa aku masuk ke kafe sebelah yang penerangannya disengaja dibuat minimalis. Namun aneh, tak lagi kulihat Tiara disana. Aku seperti orang tersesat, dengan nafas memburu gesa aku menyapu pandangan kesekeliling tempat itu. Meja yang terisi juga cuma dua meja. Satu meja diisi oleh sepasang muda-mudi yang tampaknya tengah pacaran, satu meja lagi sepasang suami istri dan satu anaknya yang berusia sekitar 4 tahun.

Cerita sebelumnya di sini
Cerita Selanjutnya baca disini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Tiara di Heusca, Karma Itu Ada (#16)"