In Memoriam FPI dan Kelak Anakku Bertanya
Di suatu sore di bulan Ramadhan, 1451 H atau 2030M. Aku mengajak anakku yang berusia 15 tahun mengelilingi kota. Anakku ini cerdas. Tak usah heran karena bapaknya adalah juga seorang yang cerdas. Banyak tanya dari anakku yang bahkan aku tak mampu menjawabnya. Ada rasa menyesal ketika aku dan istriku menyekolahkannya sebegitu tinggi, mengirimnya ke ibukota, memberinya kursus yang bahkan aku tak tahu seberapa banyak kursus yang ia ikuti. Rasa menyesal itu timbul karena terlalu banyak tanda tanya di kepalanya yang tak mampu ku inchi berapa besar ukuran tanda itu di jidatnya.
“Pa, kenapa kita harus pake sabuk pengaman ya ?”
“Demi keselamatan kita nak”
“Wah terus kalau ga pake sabuk pengaman kenapa ditilang ya ?
“Duh, karena itu memang peraturan pemerintah, pemerintah peduli dengan keselamatan kita”
“Pemerintah itu baik ya pa?”
“Ouh baik banget”
“Trus keselamatan diri kita kan hak kita, kenapa mereka mesti melarang – larang, tokh yang mati nanti kita juga”
“Mungkin bisa membahayakan orang lain juga nak, kalau kita tidak pake sabuk pengaman”
“Loh, kok jadi pake mungkin pak ?”
“Ya karena bapak juga tidak tahu pasti”
“Nanti kita lebaran mudik ga pa ?”
“Ga tahu nak”
“Kenapa ?”
“Karena jalanan macet nak, banyak jalan yang bolong, tahun lalu ada 3 ribu kasus kecelakaan sepanjang h-4 sampai h+4 lebaran, ada ratusan korban mati, karena infrastruktur jalan yang ga bagus, banyak yang bolong – bolong”
“Tapi katanya pemerintah peduli keselatamatan kita pak, itu artinya mereka menuntut tanggung jawab kita tapi tanggung jawab mereka ga pernah becus”
“Mungkin kamu benar”
“Loh kok mungkin lagi sih pak?”
“Ya karena bapak juga tidak tahu pasti”
“Itu tempat apa pak ?” tunjuk anakku pada sebuah bangunan
“Itu tempat prostitusi nak, tempat transaksi wanita – wanita penjaja syahwat”
“Emang boleh ya pak ?”
“Lah kan banyak retribusinya. Omzetnya besar lho”
“Jadi adek boleh dong maen kesitu”
“Hussh, dosa tahu, ini bulan ramadhan lho”
“Ooh yaudah deh, trus prostitusi ada peraturannya juga ya pak, salut sama pemerintah, masalah syahwat juga didagangkan demi pajak. Terus hasil pajak itu kan kita nikmati juga pak?”
“Iya”
“Jadi kita menikmati hasil dosa juga pak ?”
“Mungkin sih “
“Loh kok mungkin lagi sih pak?”
“Ya karena bapak juga tidak tahu pasti”
“Itu apa pak?” tanya anakku lagi sambil menunjuk sebuah bangunan
“Owh itu toko miras nak”
“Yang buat mabuk – mabuk itu kan pak?”
“Iya”
“Emang boleh ya pak”
“Ya sama dengan lokalisasi pelacuran tadi”
“Jadi ade ga boleh dong maen kesitu”
“Ya ga boleh, dosa lho”
“Tapi ini kan bulan puasa pak. Masa usaha gituan dibiarin aja?”
“Iya nak, karena yang punya usaha itu punya back up, terus pajaknya juga gede, ya Ramadan ga Ramadan ya sama aja”
“Emang ga ada yang bisa larang pak?”
“Mereka ada izinnya nak, jadi dipayungi hukum, kita ga boleh ganggu, dulu sih masih ada ormas yang peduli sama masalah ginian”
“Apa nama ormasnya pak?”
“FPI ( Front Pembela Islam )”
“Ceritakan tentang FPI dong pak”
“akh, itu tinggal dongeng nak, mereka udah bubar, dibubarkan paksa lah tepatnya”
“kok bisa gitu pak ?”
“iya, Fpi itu organisasi yang peduli moral bangsa, mana boleh lokalisasi dan toko miras ini ada. Tapi banyak manusia yang ga senang sama ormas itu, media- media yang dikuasai manusia penyuka miras dan lokalisasi membuat berita – berita miring atas mereka, jadi ormas itu dibubarkan sama pemerintah”
“jadi FPI di fitnah gitu pak?”
“ya ga tahu juga sih, di tivi – tivi dan koran – memang ada gambar mereka sedang berlaku anarkis”
“emang ga ada kegiatan positif mereka pak ??
“ya rasanya sih banyak juga, lah mana mungkin ada ormas yang bisa tahan lama kalau ga ada manfaatnya, ga ada kerja dan fungsi positifnya”
“kenapa mereka bisa anarkis pak ?”
“ya karena pemilik toko dan lokalisasi itu ga mau diperingatkan, nah polisi juga seperti tutup mata, makanya mereka kadang bersikap anarkis. Jadi banyak orang bilang FPI itu polisi moral”
“pasti dulunya umat muslim banyak yang protes dengan pembubarana FPI ya pak? “
“hahaahhahahahha”
“yah bapak kok malah ngakak ?”
“yang minta FPI dibubarkan itu banyakan umat muslimnya, katanya merusak citra umat muslim yang cinta damai. Dakwah itu katanya harus bil hikmah wal mau idzdotil hasanah. Aneh tho, kamu aja yang anak bapak kadang harus dicubit mamamu dulu biar mau sekolah, gimana kalau dikasih kebebasan sama kamu”
“hehehhehe”
“lah kok jadi kamu kamu yang ketawa ?”
“iya pak, bener juga”
“wah, bentar lagi udah mau bedug nih “
“iya pak, oh iya, besok adek boleh nonton di bioskop ga pak?”
“sama siapa?”
“sama Dini, pacar baru adek”
“wah, kamu udah ganti pacar lagi ? Ini kan bulan puasa, ga boleh – ga boleh”
“yaaa, teman – teman adek aja ga dilarang sama ortunya”
“emang kamu mau nonton film apa ? ntar bapak beliin kasetnya, kita nonton bareng di rumah”
“bintangnya Maria Ozaka pak, dari Korea, yah ga enak dong nonton di rumah”
“Maria Ozaka bintang panas itu ?”
“iya pak”
“kan udah di demo masyarakat”
“ya demonya juga cuma 2 jam, digertak polisi udah ciut nyali demonstrannya, trus kemarin udah putar perdana di Jakarta pak”
“di bulan Ramadan ?”
“Iya Pak, kata teman – teman filmnya seru”
Bedug dari ponselku telah berbunyi. Alarm ponsel harus ku andalkan mengingat bedug dan azan dari mesjid sulit diharap. Bunyinya kadang lenyap ditelah hingar petasan atau bingar musik diskotik, Pertanda buka puasa. Kuhentikan mobilku dipinggir jalan. Aku baru saja hendak turun dari mobil untuk membeli air mineral ketika seorang wanita menghampiri mobilku. Lagaknya dia ingin menawari menu berbuka untukku dan anakku.
“Mas, short time 400 ribu dan bisa booking 1 juta” ucapannya mengucap salam. Usianya kira – kira 19 tahun. Aku masih tercekat, diam dan bimbang. Wajahnya memang manis, tapi haruskah aku dan anakku berbuka dengan yang manis ?
Open Comments
Close Comments
1 komentar untuk "In Memoriam FPI dan Kelak Anakku Bertanya"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta