Karma Itu Ada (#3) Lelaki yang Dibeli
“aku akan menjadi pria pertama yang dibeli oleh wanita dikampung itu…..”
cerita sebelumnya baca disini
Ibu dan bapak masuk ke kamar menenangkan Tiara. Mereka juga ingin agar Tiara tetap tabah atas ini semua. Menyuruh Tiara agar tegar. Sebenarnya aku mengenal Tiara sebagai orang yang tegar. Makanya aku memanggilnya “Ara” yang berarti pohon beringin. Pohon rindang dan juga kokoh. Tapi kali ini pohon itu roboh juga.
Dan akhirnya pinangan itu datang. Rombongan mereka tak banyak. Mungkin hanya 8 orang. Yang membuat orang-orang heran adalah ketika sang calon istriku datang dengan kursi roda. Memang dia cacad. Kedua kakinya telah putus sewaktu kecelakaan mobil menimpa keluarganya 5 tahun yang lalu. Beruntung nyawanya masih tertolong saat itu meski harus kehilangan kedua kakinya. Untuk turun dari mobil rombongan itu, Maria -begitu namanya- harus digendong oleh orang tuanya.
Tak kupedulikan lagi pandangan tetangga kami yang menatap calon istriku dengan iba. Aku juga tak lagi melihat Tiara. Entah dimana dia. Adikku sendiri, masih terpaku di kamar. Memaku diri tepatnya. Dan acara akad nikahpun berlangsung begitu cepat. Secepat aliran air mata bapak dan ibu, begitu juga kakakku. Hal berbeda jelas datang dari keluarga calon istriku. Mereka tersenyum sumringah.
Mulai detik itu juga, Maria telah menjadi istriku yang sah. Namun menatap wajahnya aku seperti menatapi kesunyian. Meski di wajahnya ada senyum, tapi aku yakin dia menyimpan sesuatu. Dia memberiku misteri baru dari ini semua. Tapi biarlah misteri itu kucari jawabnya nanti. Padahal jawabnya itu tidak penting, yang paling penting adalah bagaimana aku bisa belajar mencintai Maria. Belajar memapahnya. Belajar mengerti arah pikiran dan cita-citanya.
(kejadian sebelum aku harus dibeli)
Sebulan yang lalu adikku pergi berburu ke hutan pinggir desa. Dia membawa senapan angin. Senjata yang selalu dia gunakan untuk mengusir kawanan monyet yang kerap menyerbu ladang jagung kami. Dia pergi sendiri. Aku tak ikut. Belum genap sebulan aku berada di kampung ini. Aku baru saja pulang dari Medan. Menamatkan kuliahku. Jadi wajar bila aku ingin bermalas-malasan di rumah dulu. Sebuah pekerjaan telah menantiku di Medan. Prestasiku yang bagus membuat aku tak perlu menganggur. Aku telah dipinang oleh sebuah perusahaan travel agent. Aku pulang ke kampung hanya untuk melepaskan penat. Melepas rindu pada keluarga, dan tentu saja kekasihku Tiara.
Tapi siang itu tiba-tiba seluruh desa gempar. Orang-orang kampung berlarian ke pinggir desa. Bapak yang penasaran, ikut rombongan yang berlari itu. Nampak ibu-ibu, bapak-bapak, muda-mudi dan bahkan anak-anak berlomba menuju pinggir kampung. Katanya disana ada kejadian menghebohkan.
Petaka itu begitu menikam keluarga kami. Tanpa sengaja adikku telah membunuh seorang wanita dengan senapannya. Di siang itu dia kegerahan dan ingin mandi di sungai.
Dalam perjalanan dia melihat seekor burung hinggap di pohon jambu yang belum berbuah. Tanpa menunggu aba-aba, dia mengarahkan senapannya membidik burung tersebut. Sialan dia. Dia tak tahu kalau dia mengarahkan senapannya ke sungai. Dia juga tak tahu kalau sungai itu adalah tempat pemandian orang-orang desa. Siapa pula yang mengajarinya menembakkan senapan angin dengan arah datar. Dari kecil kami sudah dipantangkan untuk menembakkan senapan dengan arah datar.
Pelajaran menembak memang telah kami terima sejak kecil dari bapak. Bapak adalah penembak jitu. Banyak babi hutan, biawak, monyet, musang, burung hantu, burung Enggang dan aneka jenis burung lainnya gugur di tangan ayah. Di saat mengajari kami, ayah selalu mengingatkan kami agar tak menembakkan senapan dengan mendatar. Bahkan bila ada sasaran sekalipun, apalagi itu ditempat keramaian.
Bunyi raungan tangis membahana desa kami. Tiga anak kecil yang tak lain adalah anak dari si wanita menjerit-jerit melihat ibu mereka bersimbah darah. Tembakan itu tepat berada di belakang kepala wanita itu. Dia ambruk dengan kepala masuk ke dalam ember cucian. Ember itupun berkuah darah. Aku tak sanggup memandang kejadian itu. Pemandangan itu begitu mengerikan. Aku juga tak tega memandang anak-anak kecil yang meratap itu. Aku hanya mampu melihat masa depan keluarga kami yang pasti menjadi sulit.
bersambung….
cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#3) Lelaki yang Dibeli"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta