Karma Itu Ada (#2)
“aku akan menjadi pria pertama yang dibeli oleh wanita dikampung itu…..”
cerita sebelumnya baca disini
cerita sebelumnya baca disini
Tiba-tiba seorang wanita datang. Tanpa mengetuk pintu, dia lari menghambur ke dalam rumah. Dia memeluk ibuku, menangis sejadi-jadinya. Tak seperti bapak yang suka menyekat tangis. Dia tampaknya lebih suka mencurahkan air matanya ke pangkuan ibuku. Dia kekasihku, Tiara. Kami sudah berpacaran selama 2 tahun sejak kelulusan SMA dulu. Semua orang mengatakan kami adalah pasangan yang serasi. Jujur, kata orang aku tampan. Dan kata kebanyakan orang, Tiara juga tak kalah cantik.
Sebagai kekasih, mungkin dia adalah orang yang paling tidak terima dengan keadaan ini. Bagaimana mungkin sejoli yang saling mencintai harus putus tanpa ada celah. Pernikahan yang telah dirancang untuk tahun depan akhirnya harus sirna. Semua janji-janji dan cita-cita manis kami telah hanyut. Harapan kami tentang daftar nama-nama anak kami kelak, juga kami batalkan.
Aku masih ingat ketika itu orang-orang dan tetua kampung memuji keserasian kami. Apalagi kami adalah pariban yang ideal. Ideal artinya, bila kami jadi menikah maka hal itu akan semakin mempererat kekeluargaan antara keluarga kami yang telah lama agak renggang.
Kemarin ku katakan padanya kalau aku akan menikah. Dia terkejut sekali. Tapi setelah kuceritakan penyebabnya akhirnya dia bisa terima. Setengah mati aku memberinya pengertian. Tapi pengertian yang aku berikan tak mampu menahan amarahnya. Katanya dia benci aku. Dia lari. Berlari jauh dari pandanganku. Sambil menjerit dia mengatakan kalau dia membenci aku. Aku bertanya dalam hati, mungkinkah kebenciannya padaku lebih besar dari cintaku padanya?
Di pangkuan ibuku dia masih meraung. Tiara memang tengah patah hati. Hatinya hancur berserakan. Mungkin dia juga akan menuai malu. Di kampungku, sejoli yang sudah sempat membicarakan masalah pernikahan haruslah jadi. Bila tidak, hal itu akan menjadi aib yang busuk sekali baunya. Orang-orang akan membuatnya jadi perumpamaan.
Tangis Tiara yang membahana semakin mengintimidasi adikku yang masih menunduk. Tak sekalipun dia mampu menengadahkan wajahnya. Iparku datang, memberi isyarat kepada ibu agar menenangkan Tiara. Bila calon istriku datang dan mereka tahu kalau aku punya pacar, semuanya bisa berubah. Rahasia bisa terbongkar. Setidaknya ibuku bisa membuat Tiara tak lagi menangis atau bahkan dia harus jauh-jauh dari rumah ini agar tidak diketahui oleh keluarga calon istriku.
Tapi semua di luar dugaan, bukannya diam. Tiara malah masuk ke kamarku. Dia memelukku erat sekali. Aku ngilu. Wangi tubuh ini yang akan kurindukan di sepanjang usiaku, bisikku dalam hati. Tiara menggantikan posisi bapak. Bapak kembali ke ruang tamu dan menemui ibu. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bisa mendengar sebab Tiara tak memberiku ruang dengar. Tiara beralih ke adikku. Dijambak-jambaknya rambut adikku yang masih diam.
Aku tahu adikku meringis kesakitan. Tapi dia sudah kehilangan hak untuk melawan. Dia juga hanya bisa pasrah ketika Tiara meninjuinya. Tangan Tiara itu kuat. Aku pernah kaget ketika dia tanpa sengaja meninju dadaku. Dan aku masih ingat, itu sakit sekali.
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#2)"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta