Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#5), Lelaki yang Dibeli

Karma Itu Ada (#5), Lelaki yang Dibeli

“aku akan menjadi pria pertama yang dibeli oleh wanita dikampung itu…..”
cerita sebelumnya baca disini
 

Namun, kesabaranku kembali diuji. Orang yang ada di sebelah kanan Agus mendatangiku. Dia mencoba meninju wajahku. Aku mengelak dan berputar ke belakangnya sambil memutar tangannya lalu mendorongnya dengan lututku hingga ia tersungkur.
Lelaki yang tadi menerjang dadaku kembali maju dan hendak melakukan terjangan yang sama. Saat terjangannya hendak mengenaiku, aku maju dua langkah dan bergeser ke kanan. Saat kakinya terjulur, aku langsung meninju bagian dalam pahanya. Aku tahu itu sakit. Dan dia mengerang kesakitan.

Agus nampak kalap dan mengayunkan parangnya ke arahku. Tampaknya dia hendak menebas leherku. Aku melompat dan berguling di tanah. Tak puas, Agus kembali mengejarku. Tiba-tiba bapak keluar.

“Hey, hentikan! Aku yang kalian cari kan? Kalau kalian memang sudah tak ingin jalan damai. Ayo hadapi aku” Sebilah parang di tangan kanan ayah. Dari mata parang itu terpantul sinar lampu yang menerpa mataku, silau sekali. Agus menghentikan langkahnya mengejarku. Kini dia berhadapan dengan Bapak. Jarak mereka hanya 5 meter. Dengan masing-masing memegang parang yang tajam.
Saat bapak dan Agus akan saling tebas. Seorang tetua kampung datang. Dia sangat dihormati di desa kami.

“Sejak kapan kalian jadi tak punya fikiran begini? Siapa yang mengajarkan kalian menyelesaikan masalah dengan cara seperti ini?” nada suaranya tinggi. Tegas. Usianya sekitar 65 tahun. Tapi kegesitan dan kelincahannya masih diakui orang-orang. Dia adalah referensi para orang tua. Dia adalah rujukan di setiap bidang. Dia adalah perumpamaan hal-hal baik. Dia memang contoh yang wajib dipanuti.
“Aku heran dengan kalian. Sejak aku lahir di kampung ini, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan cara bicara. Atau kalian sudah merasa hebat ya?” kami semua tertunduk diam. Kami memang sangat menghormatinya. Aku memang jarang berada di kampung. Tapi aku kenal betul pribadi kakek yang satu ini. Agus saja yang tadi tampak kalap tiba-tiba tertunduk.
“Aku juga heran samamu Mardi. Kau sudah belajar di kota. Apa begini pelajaran yang kau dapat? Kau juga Pak Tiur (panggilan bapakku), tak kusangka kau bisa menjadi sebodoh ini” bapak juga hanya bisa diam. Dia juga segan pada sang tetua. Usia mereka mungkin hanya terpaut 20 tahun. Tapi aku mafhum kenapa bapak begitu segan pada si kakek.
“Kau Gus dan teman-temanmu. Aku turut berduka untuk keluargamu. Tapi caramu ini adalah cara-cara idiot. Apa yang kau dapat dengan membunuh? Lalu kau masuk penjara dan anakmu mau kau kasih makan apa? Kita masih punya cara-cara luhur dalam menyelesaikan masalah” wajah si kakek memerah. Tanda ia marah. Sekali lagi kami hanya mampu menunduk.
Hingga akhirnya Agus tersungkur di tanah sambil menangis. Parangnya ia topangkan di tanah menyangga ia yang sedang bersimpuh. Tampak ia menyesal. Dia sebenarnya warga yang baik. Dari dulu kami tak memiliki sejarah pertentangan dengannya. Tapi kesedihan karena ditinggal istri tercintanyan membuat ia gelap mata.




Bersambung..

cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
 
NB: Tulisan ini adalah kisah nyata yang saya fiksikan, terjadi di sebuah desa di Sumut. Untuk kelanjutan kisah ini, saya menunggu respon dari pembaca. Mudah-mudahan bisa jadi novel yang utuh. :D
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#5), Lelaki yang Dibeli"