Karma Itu Ada (#6), Lelaki yang Dibeli
Begitulah akhirnya. Jalan damai ditempuh. Musyawarah diadakan di rumah tetua kampung. Negosiasi berjalan a lot. Mereka ingin ganti rugi yang sangat besar. Bila kami tak bisa memenuhi maka bapak dan adikku akan dilaporkan ke polisi. Mereka juga menuntut agar semua biaya pemakaman ditanggung oleh keluarga kami. Termasuk biaya pendidikan ketiga anaknya hingga tamat SMA. Gila. Apa mereka tak tahu kalau untuk menyekolahkan aku saja bapak harus gali lobang dan tutup lobang? Aku rasa seluruh kampung tahu. Aku dan bapak mencoba memohon keringanan. Namun mereka tetap pada pendiriannya.
Di kampung, seseorang yang telah pernah masuk penjara akan mendapat pengucilan. Warga akan sungkan untuk bergaul dengan mantan tahanan. Harga diri akan jatuh berdebam ke jurang yang paling dasar. Luluh lantak tak berbentuk. Jadi sebisa mungkin orang akan berusaha menghindar berurusan dengan polisi. Di sini, imej polisi begitu buruk. Hampir tak ada warga yang bercita-cita jadi polisi.
Kami, aku dan bapak pulang ke rumah dengan gontai. Ibu dan kakakku menyambut kami di meja makan. Malam sudah larut. Tapi tak satupun dari mereka mampu tidur.
“Arman sudah makan?” tanya bapak pada ibu
“belum, dari tadi dia terus menyendiri di kamar” kakak yang menjawab sambil menyendukkan nasi ke piring bapak. Lalu menyodorkan tempat nasi ke arahku. Saat aku hendak mengambil nasi, ibu terisak. Sebenarnya pantang bagiku mendengar orang menangis saat makan. Selera makanku pun hilang. Aku mendekati ibu dan meredakannya.
“Arman sudah makan?” tanya bapak pada ibu
“belum, dari tadi dia terus menyendiri di kamar” kakak yang menjawab sambil menyendukkan nasi ke piring bapak. Lalu menyodorkan tempat nasi ke arahku. Saat aku hendak mengambil nasi, ibu terisak. Sebenarnya pantang bagiku mendengar orang menangis saat makan. Selera makanku pun hilang. Aku mendekati ibu dan meredakannya.
Selesai makan kami semua berkumpul di ruang tamu. Mencari jalan bagaimana menyelesaikan masalah ini. Bagaimana mencari uang untuk ganti rugi. Hingga dini hari, tak ada satu usulpun yang masuk akal. Ladang tak mungkin dijual. Pekerjaan ayah sebagai seorang petani hanya mampu untuk membiayai makan keluarga.
Esok sorenya selepas mandi, kulihat ada sebuah mobil mewah parkir di depan rumah. Di ruang tamu kulihat dua orang tamu bapak. Bapak kelihatan serius berbicara dengan mereka. Tampaknya mereka adalah suami istri. Setelah berpakaian, bapak mengenalkanku pada mereka. Aku memberi salam. Ketika aku beranjak ke dapur untuk menemui ibu, kedua tamu bapak tadi langsung pulang.
“Mar, bapak mau bicara sama kamu sebentar!”
“boleh pak”
“itu tadi teman lama bapak, namanya Pak Surya. Dia adalah seorang pengusaha yang memiliki perkebunan karet dan sawit yang sangat luas di Pekan Baru. Kami sudah berteman sejak SMP. Tampaknya dia senang melihat kamu” bapak membuka.
“maksud bapak?”
“Bapak bermaksud meminjam uang pada mereka, tapi bapak bilang bahwa bapak akan mencicilnya dari hasil ladang kita. Sekalian bapak bilang kalau utang itu nanti akan cepat terlunasi karena kamu sudah bekerja di Medan”
“bagus dong kalau gitu pak” aku gembira “jadi mereka setuju pak?” sambungku
“setuju sih.. tapi…”
“tapi?” aku tak sabar
“Kata Pak Surya, mereka tidak mempermasalahkan kita mampu membayar atau tidak”
“trus?”
“setelah melihat kamu tadi, mereka bilang kalau mereka akan memberikan uang itu cuma-cuma dengan satu syarat…”
“Syarat apa pak?”
“kamu harus mau menikah dengan putri mereka”
Deg. Aku bingung. Aku dilema. Wajah Tiara membayang di depan mataku. Aku sangat mencintai Tiara. Iya. Aku sangat mencintai Tiara.
“tapi mereka juga bertanya apakah kamu sudah punya calon, maafin bapak Mar, tadi bapak bilang kamu masih sendiri. Bahkan kamu tidak punya pacar” ayah melemahkan suaranya.
“ibu ga mau kalau Mardi harus menikah dengan anak bapak itu” ibu datang
“ibu ga setuju pokoknya, Arman yang berbuat, dia juga yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Masa Mardi yang ga tau apa-apa mau kita tumbalkan pak?”
“bukan begitu Bu…”
“bagaimana mungkin anak kita harus melepas Tiara yang sudah kita anggap sebagai anak kita sendiri? Bagaimana mungkin anak kita harus menikah dengan wanita yang cacad tak memiliki kaki” ibu menangis di ujung kalimatnya. Akhir-akhir ini ibu memang mudah sekali menangis. Tapi aku yang lebih terkejut. Tega benar hidup ini padaku. Sekian lama aku belajar, membanting tulang. Itu semua demi keluargaku dan Tiara. Tapi karena kejadian sialan ini aku harus masuk ke pusaran hitam ini? Aku belum bisa membayangkan apa yang akan terjadi di masa depanku. Perjuanganku selama ini ternyata sia-sia. Dan itu disebabkan oleh kecerobohan adikku sendiri. Dimana dia? Aku akan menghajarnya. Aku mencari Arman. Tapi ketika melihat tubuhnya yang makin ringkih meringkuk di kamar. Aku jadi iba sendiri.
“boleh pak”
“itu tadi teman lama bapak, namanya Pak Surya. Dia adalah seorang pengusaha yang memiliki perkebunan karet dan sawit yang sangat luas di Pekan Baru. Kami sudah berteman sejak SMP. Tampaknya dia senang melihat kamu” bapak membuka.
“maksud bapak?”
“Bapak bermaksud meminjam uang pada mereka, tapi bapak bilang bahwa bapak akan mencicilnya dari hasil ladang kita. Sekalian bapak bilang kalau utang itu nanti akan cepat terlunasi karena kamu sudah bekerja di Medan”
“bagus dong kalau gitu pak” aku gembira “jadi mereka setuju pak?” sambungku
“setuju sih.. tapi…”
“tapi?” aku tak sabar
“Kata Pak Surya, mereka tidak mempermasalahkan kita mampu membayar atau tidak”
“trus?”
“setelah melihat kamu tadi, mereka bilang kalau mereka akan memberikan uang itu cuma-cuma dengan satu syarat…”
“Syarat apa pak?”
“kamu harus mau menikah dengan putri mereka”
Deg. Aku bingung. Aku dilema. Wajah Tiara membayang di depan mataku. Aku sangat mencintai Tiara. Iya. Aku sangat mencintai Tiara.
“tapi mereka juga bertanya apakah kamu sudah punya calon, maafin bapak Mar, tadi bapak bilang kamu masih sendiri. Bahkan kamu tidak punya pacar” ayah melemahkan suaranya.
“ibu ga mau kalau Mardi harus menikah dengan anak bapak itu” ibu datang
“ibu ga setuju pokoknya, Arman yang berbuat, dia juga yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Masa Mardi yang ga tau apa-apa mau kita tumbalkan pak?”
“bukan begitu Bu…”
“bagaimana mungkin anak kita harus melepas Tiara yang sudah kita anggap sebagai anak kita sendiri? Bagaimana mungkin anak kita harus menikah dengan wanita yang cacad tak memiliki kaki” ibu menangis di ujung kalimatnya. Akhir-akhir ini ibu memang mudah sekali menangis. Tapi aku yang lebih terkejut. Tega benar hidup ini padaku. Sekian lama aku belajar, membanting tulang. Itu semua demi keluargaku dan Tiara. Tapi karena kejadian sialan ini aku harus masuk ke pusaran hitam ini? Aku belum bisa membayangkan apa yang akan terjadi di masa depanku. Perjuanganku selama ini ternyata sia-sia. Dan itu disebabkan oleh kecerobohan adikku sendiri. Dimana dia? Aku akan menghajarnya. Aku mencari Arman. Tapi ketika melihat tubuhnya yang makin ringkih meringkuk di kamar. Aku jadi iba sendiri.
Bersambung..
NB: Tulisan ini adalah kisah nyata yang saya fiksikan, terjadi di sebuah desa di Sumut. Untuk kelanjutan kisah ini, saya menunggu respon dari pembaca. Mudah-mudahan bisa jadi novel yang utuh. :D
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#6), Lelaki yang Dibeli"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta