Ketika Polwan Menangis
Pekerjaan yang berat selalu identik dengan laki-laki. Lelaki selalu digambarkan sebagai makhluk yang lebih bertenaga dibandingkan dengan kaum hawa. Namun di banyak sisi, ada kalanya wanita itu terlihat lebih perkasa dibanding pria. Lihatlah ketika seorang suami hanya pergi ke kantor untuk mengerjakan urusan kantor. Sementara sang istri yang ditinggal dirumah harus mengurus anak, mencuci, membersihkan rumah, memasak dan lain-lain yang tentu menguras tenaga yang lebih banyak daripada pekerjaan sang suami. Disini kita bingung, dimanakah wanita menyimpan tenaganya hingga bisa sekuat itu?
Indonesia juga merupakan salah satu saksi sejarah yang tak bisa berbohong tentang kehebatan wanita. Perlukah lagi kita paparkan kehebatan Cut Nyak Dien? Atau masih ada yang meragukan keuletan RA.Kartini? Dua wanita ini terasa sudah cukup untuk memupus keraguan kita tentang kehebatan wanita. Mereka seperti wanita yang selalu memiliki energi ekstra yang datang entah dari mana. Energi yang selalu mampu menggetarkan tulang belulang para lelaki yang kadang terlihat angkuh dan merajai.
Zaman semakin berkembang, wanita juga semakin mendapat tempat yang hampir sejajar dengan pria. Kenapa cuma hampir? tak bisakah mereka sejajar? Mungkin bisa, andai saja pria juga bisa melahirkan dan wanita tak lagi keberatan bekerja sebagai tukang tambal ban. Mungkin bisa sejajar andai saja wanita tak lagi harus meminta pria untuk memperbaiki genteng yang bocor, saluran air yang tumpat dlsb.
Dalam Islam, pria itu adalah pemimpin bagi wanita. Layaknya seorang pemimpin, pria harus memberikan bimbingan yang terbaik bagi yang dipimpinnya. Pemimpin mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Semua yang dilakukan bawahan pastilah menjadi tanggung jawab atasan juga, terlepas dari besar kecilnya tanggung jawab tersebut.
Instansi penegak hukum seperti kepolisian adalah instansi pisau bermata dua. Satu sisi, profesi sebagai polisi akan sangat bermanfaat bila dijalankan dengan baik. Namun akan menjadi sangat fatal bila terjadi penyelewengan di dalamnya. Kan aneh saja, penjaga gawang malah membiarkan lawannya memasukkan bola ke jalanya atau malah membantu lawan membuat sebuah gol.
Menjadi polisi wanita atau yang biasa dikenal dengan polwan memang unik. Karena dulunya dia dianggap sebagai wanita yang berada di luar jalur kodratinya, karena polisi identik berurusan dengan hal-hal yang bersifat keras di segala kasus. Lagi-lagi budaya ketimuran dijadikan alasan untuk ini. Beruntung, saat ini masyarakat sudah bisa menerima keberadaan polisi hawa. Apalagi didukung dengan misi-misi polisi yang notabene hanya bisa dijalankan oleh kaum wanita.
Dari kasus mafia pajaknya Gayus Tambunan. Terlibatlah seorang polisi yang juga seorang ibu dari satu suami dan tiga anak. Namanya AKP Sri Sumartini. Dia kian tenar karena mega kasus mafia pajak yang ternyata melibatkan orang dalam penegak hukum sendiri. Aparat yang harusnya menjadi tonggak penegak kebenaran. Dalam pledoinya, si Ibu meminta hukuman seringan-ringannya atau kalau bisa dibebaskan. Karena dia telah merasakan betapa tersiksanya dipenjara.
Menurut pengacara AKP Sri Sumartini, dia hanyalah korban dari permainan “buaya-buaya” yang berada di jajaran atasnya. Mereka yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Namun sayangnya, selagi anak buah masih bisa ditumbalkan, ya oke sajalah.
Menurut tim pengacaranya, persidangan tak bisa membuktikan tuduhan yang ditujukan padanya. Tini disebut menerima uang Rp 5 juta dari Roberto Santonius, beberapa lembar uang 100 dollar AS, serta Rp 80 juta dari Kompol Arafat Enanie. Hingga besar harapan mereka kalau Si Ibu akan mendapat hukuman seringan mungkin.
Dalam pembacaan pledoinya, AKP Sri Sumartini menangis. Itu tangis seorang Ibu dan juga tangis seorang wanita. Mungkin banyak orang yang mengatakan itu hanyalah air mata buaya. Tapi kini kita memandangnya bukan lagi sebagai buaya. Tapi sebagai Ibu yang punya tiga orang anak, sebagai wanita. Sehebat-hebatnya polisi wanita. Sekuat-kuatnya mereka, bahkan kekuatan mereka melebihi pria. Ternyata hati mereka tetap berjenis kelamin wanita. Kaum yang gampang tersentuh (menangis) bila berduka. Akh sayangnya air matanya itu terlambat keluar. Andai saja dulu dia menangis dan menolak uang suap seperti yang dituduhkan itu, mungkin ceritanya akan lain.
Sorotan tajam perlu kita berikan kepada atasan sang Ibu, AKP Sri Sumartini. Besar kemungkinan atasannya memberikan contoh yang kurang baik hingga ditiru oleh anak buahnya. Atau mungkin saja atasannya tidak bisa menjadi panutan yang bisa dijadikan pegangan. Dan kini, atasan AKP Sri Sumartini di bagian penyidikan, tetap bebas. Tak menyandang kata terdakwa. AKP Sri Sumartini yang menurut pengacaranya hanya sebagai Tukang Ketik, kini harus harap-harap cemas menunggu keputusan pengadilan.
Jikalau memang atasan AKP Sri Sumartini tidak terlibat dalam kasus ini. Berarti ada rantai komunikasi yang terputus antara atasan dan bawahan yang diserahi tugas. Kenapa hal sesepele itu bisa terabaikan? Lagi-lagi pemimpin harus mendapat fokus sorotan. Jangan sampai mereka cuci tangan dari maha kasus yang menggemparkan ini. Semoga!
Foto : kompas.com
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Ketika Polwan Menangis"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta