Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#8)

Karma Itu Ada (#8)

Kini aku dan Maria sedang di kamar. Jam dinding menunjuk angka 10. Aku harus tidur. Besok adalah hari pertama aku masuk kerja. Kutatap wajah Maria yang di samping kiriku. Ia sudah tidur. Lelap benar tampaknya. Rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Kurapikan rambutnya agar bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah itu terlihat polos. Wajah itu halus. Putih. Rambutnya wangi. Malam ini aku baru menyadari kalau Maria itu cantik. Bulu matanya lentik. Bibirnya tipis. Ingin aku mengecup bibir itu. Tapi aku ragu. Akh bodoh sekali aku. Dia kan istriku.

Saat kulit pipinya ku elus dengan punggung telapak tanganku, Maria terbangun.
“belum tidur bang?”

Aku hanya tersenyum. Tak kujawab. Ia kembali tidur. Kupandangi lagi wajahnya. Ku telusuri tiap lekuk wajahnya. Hidungnya yang bangir. Bibirnya yang memiliki garis-garis yang kontras. Aku tertarik untuk mencobanya. Ku kecup keningnya, pipinya, hidungnya dan bibirnya. Dia terbangun lagi, tersenyum dan tertidur lagi. Saat aku merebahkan badan dengan sempurna, kedua tangan Maria memelukku. Kuat sekali.
***


Pagi itu. Entah apa yang aneh dari penampilanku. Aku bingung. Semua pandangan seperti menelanjangi aku. Padahal aku berpakaian layaknya karyawan biasa. Aku tak menerima tawaran mertuaku untuk posisi yang tinggi. Aku bilang kalau aku ingin mulai dari bawah. Sebenarnya aku lebih suka dengan pekerjaan Travel Agent yang dulu sudah aku dapat. Tapi mertuaku melarang. Katanya aku harus bekerja di perusahaan mereka. 

Berpasang-pasang mata dari para karyawan dan staff perusahaan ini tetap memandangiku dengan aneh. Di setiap ruangan yang aku masuki. Pasti mereka memandangku dengan tatapan aneh. Bahkan ada beberapa karyawan wanita yang tak segan berbisik-bisik ketika aku lewat. Huh menyebalkan.

Disini aku mengenal Dody, seorang Melayu. Tubuhnya tambun. Suaranya keras. Dan lagi, makannya banyak sekali. Dua kali porsiku. Namun dia teman yang baik, dia yang memberi tahu aku seluk beluk internal perusahaan yang nota bene adalah milik mertuaku ini. Dia adalah teman pertamaku di perusahaan ini. Tingkahnya yang kocak membuat aku betah bersamanya. Dia juga jarang mengeluh. Kami ada di departemen yang sama. Dody memang teman yang tepat bagiku. Tak pernah dia mencoba menelusur kenapa aku sampai menikah dengan putri bos mereka yang cacat itu. Dari Dody, aku juga tahu kalau sebenarnya ada karyawan di sini yang sering dikait-kaitkan dengan Maria. Tapi Pak Surya tidak suka.

Di setiap istirahat kerja aku tak lupa menghubungi Maria. Aku harus memperhatikannya dengan baik. Bagaimanapun keadaannya, kini dia adalah istriku yang sah. Yang harus kujaga, kucintai, kubela dan kusayangi. Meski menyayangi dan mencintainya itu pasti akan sangat sulit. Tapi aku akan tetap berusaha.
***

Pernikahanku dengan Maria ini seperti meyakinkanku tentang sebuah ucapan kalau jodoh tak akan kemana. Sekarang aku yakin sekali dengan ucapan itu. Beberapa bulan yang lalu, aku mengira kalau Tiara adalah ibu dari anak-anakku kelak. Saat itu bahkan aku belum mengenal Maria. Tapi kenyataannya kini, semua seolah memutar 180 derajat. Berputar sedemikian rupa antara segala hal yang mustahil. Kini aku adalah suami dari Maria dan Tiara hanya sekedar masa lalu. 

Mencintai tak pernah salah. Begitu juga ketika aku mencoba menanam benih-benih cinta pada Maria. Tidak mencintai juga tidak salah. Sama halnya ketika perlahan aku mengubur rindu pada Tiara. Memang bekas-bekas dan jejak-jejak yang pernah diukir Tiara di hatiku adalah kenangan yang tak mungkin ku lupa. Namun perlahan tapi pasti Maria menunjukkan dirinya yang sebenarnya.

Senyumnya yang dulu menyimpan misteri kini berubah menjadi senyum tulus. Sambutan hangatnya di tiap sore membuat aku senantiasa ingin cepat pulang dari tempatku bekerja. Akh Maria, andai saja aku tak bertemu Tiara sebelum kau, pasti kau adalah wanita terindah dalam hidupku.

Maria, sebuah nama yang kini mematung di depan pintu menunggu pulangku. Menyemai senyum di tiap pagi saat aku akan berangkat bekerja. Pesan-pesannya kerap kali membuat aku tersenyum gemas. Tiap pagi permintaannya berubah, kadang ia ingin dibelikan gorengan, kadang ingin dibelikan bunga, kadang boneka. Akh Maria, apa dia tidak bisa membeli sendiri pikirku suatu ketika.

“kalau makanannya lewat tangan Abang, rasanya pasti beda” ucapnya suatu sore. Ahai dia menggombali aku. Aku hanya mampu mencubit lembut pipinya lalu mencium keningnya. Dia pasti selalu memejamkan matanya ketika aku akan menciumnya. Di atas kursi rodanya, Maria memberikan aku semangat hidup baru yang dulu punah. Rasanya perlahan aku jatuh cinta. Hatiku berbunga-bunga. Kabar ini ku kirim ke ibu dan bapak. Mereka bilang kalau mereka juga sangat bahagia karena ternyata pengorbananku tidak sia-sia. 

Ketakutanku yang dulu tak berbukti. Dulu aku merasa takut kalau hidup beristrikan Maria pasti adalah neraka. Tapi nyatanya, dia selalu meniupkan aku bau-bau surga yang hanya ada dalam dongeng dan kitab agama. Kehidupan keluarga kami berjalan dengan baik. Kekhawatiranku beristrikan seorang wanita cacat, yang hanya memiliki kaki sebatas lutut ternyata hanya sebatas kekhawatiran semu. Kemandiriannya membuat aku kagum. Kekurangan memang kadang membuat orang berusaha lebih keras untuk berjuang hidup.

“Nanti sore beliin buah mangga ya Mas” pesan Maria saat aku hendak berangkat bekerja.
“duh, yang lain saja deh. Abang kan ga ada lewatin toko buah di jalan”
Maria cemberut, bibinya manyun. Aku gemas melihatnya.
“iya, ntar dibeliin” potongku agar kicaunya tak datang. Lalu dia tersenyum dan melebarkan kedua tangannya. Pertanda dia ingin dipeluk. Aku memeluknya dengan sayang. Hatiku benar-benar dipasung oleh Maria.
bersambung…

cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
 
NB: Tulisan ini adalah kisah nyata yang saya fiksikan, terjadi di sebuah desa di Sumut. Untuk kelanjutan kisah ini, saya menunggu respon dari pembaca. Mudah-mudahan bisa jadi novel yang utuh.
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#8)"