Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#9), Maria Diperkosa?

Karma Itu Ada (#9), Maria Diperkosa?

Semangatku untuk bekerja juga kian bertambah. Rekan yang dulu memandangku dengan aneh kini sudah bisa menerimaku. Adalah hal yang wajar jika orang memandang aneh padaku. Mungkin menjadi pertanyaan bagi mereka kenapa aku mau menikah dengan Maria? Dan kenapa posisiku ditempatkan sejajar karyawan biasa? Untuk pertanyaan pertama aku tak mau menjawab. Namun untuk pertanyaan kedua adalah biasa, aku ingin memulai segalanya dari bawah. Secara natural.

Waktu istirahat siang, Dody mengajakku makan siang di kantin. Seperti biasa, pesanannya selalu jumbo. Membuat aku selalu ternganga.
“ga nyoba diet Dod?” pancingku
“ehhehehe…”
“begh, ditanya malah nyengir”
“niat sih ada, tapi penerapannya belum, hahaha…” tawanya melebar, hingga membuat orang sekeliling mengarahkan pandangan ke kami beberapa detik. Dody bukannya berhenti dengan pandangan orang, malah dia tertawa lebih panjang.

Tiba-tiba seorang pria datang ke arah kami. Dody terdiam, untunglah pikirku. Ternyata kedatangan pria ini bisa meredakan tawanya.

“hai, Mardi ya? Kenalkan nama saya Gilang” pemuda itu mengulurkan tangannya. Kusambut dengan senyum ramah. Aku memang beberapa kali melihatnya. Tapi aku tak punya hasrat lebih jauh untuk mengenalnya.
“kok bisa tahu nama saya?” balasku penasaran.
“kamu ini kan artis di perusahaan ini, mana ada yang tak mengenal kamu”
nada bicaranya mulai aneh.
“ah, kamu bisa aja” ucapku.

Dody memberikan tanda padaku agar kami pergi dari situ. Makan siangku baru separuh. Tapi karena ajakan Dody, aku beranjak dari kursiku. Namun Gilang menahan bahuku agar tetap duduk.
“sabar dong, mau kemana? Kita kan baru kenalan, lagian jam istirahat masih ada 15 menit lagi”
Gilang menyulut rokoknya dan menawarkan padaku. Aku menunjukkan telapak tanganku secara vertikal menghadapnya. Aku menolak.Aku memang perokok, tapi aku tak kecanduan. Hanya sesekali merokok di saat suntuk.

Dody menarik tanganku, kelihatannya Dody memang tidak suka benar dengan situasi ini. Dari sorot matanya dia ingin pergi. Tapi tak mau meninggalkan aku sendiri. Bunyi denting sendok, garpu beradu dengan piring terdengar jelas di kantin ini. Semuanya terlihat buru-buru. Kasihan manusia ini, mereka harus bergesa-gesa dan berkejaran dengan jarum jam. Mereka terpenjara oleh sistem dan peraturan. Tapi bukankah manusia memang harus hidup dengan aturan?

“Aku ingin menceritakan suatu hal yang tidak kau tahu Mar” ucap Gilang saat aku hendak berdiri mengikuti arah tangan Dody.
“udah Mar, ga usah didengarin” timpal Dody
“ya kalau kau memang tidak ingin, aku tidak memaksa, tapi aku tahu kalau kau akan sangat terkejut dengan cerita ini” Gilang memancingku.

“ya sudah katakan saja disini, kita sudah berkenalan. Aku anggap kita teman. Sebagai teman barumu, maukah kau bercerita tentang hal yang akan membuat aku terkejut itu?” tanyaku.
“aku bersedia saja, tapi tempatnya bukan disini. Kau akan menuai terlalu banyak malu bila ada yang mendengar” ucap Gilang yang membuat aku kian penasaran. Apa sih yang ingin diceritakannya?
Mungkinkah ia tahu bahwa aku menikah dengan Maria hanya untuk membayar utang keluarga kami?

Sepulang kerja, aku tidak langsung pergi membeli buah mangga seperti yang dipesankan istriku. Aku masih penasaran dengan ucapan Gilang tadi siang. Dia adalah salah satu staff di perusahaan kami. Dia sebenarnya adalah atasanku, namun berbeda departement aku jadi tidak begitu mengenalnya. Aku menunggu di kantin yang sebentar lagi akan tutup. Juice jeruk di depanku. Sebatang rokok mild kubakar. Asapnya ku kepul-kepulkan. Kadang lurus ke depan. Kadang membentuk bulatan. Kadang asapnya ku arahkan ke samping. Itulah kebiasaanku, merokok disaat gundah saja. Nikotinnya memang memberikan ketenangan.

“waduh, Tuan merokok juga ternyata” Suara Gilang yang khas mengejutkanku. Dengan memanggilku Tuan, berarti dia tengah memperolok aku. Meski geram, kubiarkan saja. Aku butuh melampiaskan penasaranku atas ucapannya tadi siang. Dia langsung duduk di depanku. Kini kami hanya dihalangi meja ukuran 2×3 meter. Tanpa permisi dia mengambil sebatang rokokku dan membakarnya. Jarum jam menunjukkan pukul 5.30 sore.
“kamu orang yang gampang penasaran juga rupanya” ucap Gilang sambil menghembuskan asap rokok ke arah wajahku. Untung angin cukup kencang untuk mengalihakn asap itu dari mukaku.

“udah cepetan, bilang aja. Istriku udah nunggu di rumah nih” pintaku
“ow ow ow, istriku…ahahaha. Kau sebut Maria sebagai istri?” ledeknya “okelah, aku akan bercerita sedikit tentang Maria padamu. Mungkin kau mendengar ada salah seorang karyawan di sini yang pernah sempat dijodohkan dengan Maria ya kan?” tanyanya. Dia tersenyum ketika aku mengangguk. Kepulan asap dari bibirnya membumbung, berlari, memencar tak tentu arah.
“tahukah kau kalau Maria punya sejarah kelam?” tanyanya lagi mirip interogasi seorang polisi.
“ya aku tahu, dia mengalami kecelakaan. Kakinya terpaksa diamputasi karena terjepit”jawabku

“hmmm. Sampai di situ cerita yang kau dapatkan masih benar. Akulah pria yang akan dijodohkan dengan Maria itu” deg! Jantungku seperti berhenti berdegup beberapa jenak. “Tapi mungkin kau tak tahu kenapa aku membatalkan keinginanku untuk memperistrinya? Suatu malam, Pak Surya sedang pergi keluar kota. Ibunya Maria pergi arisan. Tinggallah Maria bersama perawatnya. Seorang maling masuk menyelinap ke rumah mereka. Maling tersebut berhasil menyekap si perawat dan Maria. Melihat wajah molek kedua wanita itu, maling tersebut tak tahan. Lalu memperkosa mereka berdua” kalimat terakhir Gilang membuat aku hilang kesabaran. Dia terlalu banyak meracau. Aku bangkit dari kursiku. Kutarik kerah bajunya dan menonjok hidungnya hingga dia terjungkal ke belakang. Jatuh bersama kursi yang didudukinya. Bersama rokok yang di tangannya.


bersambung....



cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#9), Maria Diperkosa?"