Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#11)

Karma Itu Ada (#11)

“ini paman sama bibi, bang” Maria memperkenalkan mereka padaku. Aku menyalami mereka. Lagi-lagi kami saling tebar senyum. Akh tak salah memang tersenyum. Namun malam ini harga senyum seperti lagi diskon, hingga semua kami tak segan untuk tersenyum. Maria memang pernah cerita tentang Pamannya ini, adik dari Pak Surya. Meski tak sesukses Pak Surya, namun kehidupan mereka tergolong kelas atas. Mereka punya usaha keluarga sendiri. Mereka punya bengkel mobil, toko sparepart motor dan sebuah toko emas yang terbilang besar. Mereka kini berdomisili di Bandung.

“kapan sampai pak?”aku berbasa basi
“kemarin Mar, kebetulan lagi ada dikit urusan”
“udah makan malam belum?”
“udah kok bang, malah tadi begitu sampai, paman langsung minta makan” istriku yang menimpali dan disambut tawa riuh kami. Maria memang akrab dengan mereka sejak dulu. Jadi tak jarang candaan dia keluarkan. Suasana terlihat cair.

“Oh iya, ini ada oleh-oleh dari Bandung untuk kalian” paman menyodorkan sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Mungkin isinya makanan atau mungkin juga sesuatu yang lain.
“duh, terima kasih banyak pak” mereka tersenyum. Pak Simon, begitulah nama beliau. Dan mereka tak keberatan kalau aku memanggil bapak. Memang seharusnya aku memanggil dengan tutur sesuai adat. Tapi mereka maklum karena aku belum terbiasa. Aku berjanji pada mereka kalau aku akan membiasakan diri dengan sapaan sesuai penuturan daerah.

Aku mengantar Pak Simon sampai pagar rumah. Mereka tampak buru-buru sekali.
“Mar, jaga putri kami baik-baik ya!”
“iya Paman, sebisa mungkin saya akan menyayanginya”
“kami akan berikan apa saja yang kamu minta asal kamu bisa membahagiakan Maria”
“sudah kewajiban saya sebagai suami Maria. Saya pasti akan melindungi dan mencintai dia”
Paman dan bibi tersenyum. Saat telah berada di mobil, mereka melambaikan tangan ke arah Maria yang hanya mengantar sebatas teras rumah kami. Dan perlahan deru mesin mobil itu lenyap ditelan senyap.

Sepeninggal Pak Simon, aku dan Maria berniat melihat isi bungkusan plastik yang katanya dibawa dari Bandung itu. Kami seperti menghadapi sebuah teka-teki. Dalam masing-masing hati kami tentu bertanya apa isi bungkusan itu. Maria mengkodekan matanya padaku agar aku membuka bungkusan itu. Aku sedikit membungkuk karena meja tamu yang memang hanya setinggi 40cm.

Setelah bungkusan itu sedikit terbuka, keluarlah bau yang teramat menyengat. Menghentak-hentakkan seleraku. Bau itu khas sekali. Ternyata isinya adalah ikan mas yang telah diarsik. Arsik adalah salah satu jenis masakan khas dari Sumatera Utara. Biasanya ditumis dengan campuran banyak kacang panjang, andaliman, asam dan akan selalu tersaji dengan warna kuning kunyit yang dominan. Aku termasuk orang yang sangat mencintai kuliner Sumtera Utara. Karena memang tadi siang aku tidak makan, maka aku sangat berselera melihat ikan yang terkenal kelezatannya itu. Maria mengernyitkan dahi, seolah heran melihat ekpresiku yang berulang kali menelan air liur.

“ini pasti enak sekali sayang!” aku sumringah.
“yaudah habisin aja Bang”
“kamu nggak mau? Ntar abang habisin sendiri nih”
“kami baru saja makan bang, ikan itu katanya memang khusus utuk abang”
“wah, yaudah deh”

Aku bergegas ke dapur mengambil sepiring nasi. Arsik memang makanan daerah yang selalu mampu membuat selera makanku bertambah. Aku pernah mengatakan ini pada Maria. Sayangnya memasak arsik butuh keahlian khusus. Dan Maria tidak begitu mengerti cara memasaknya. Tanpa basa basi aku makan disamping Maria. Dia tersenyum melihat tingkahku yang seperti kekanak-kanakan. Tapi peduli amat. Aku sedang lapar berat.

“makannya pelan saja bang, aku ga akan minta kok!” Maria menyindir.
“abis enak banget sih, salah sendiri ada makanan seenak ini” kataku disela nasi plus ikan yang masih memenuhi rongga mulutku. Kata-kata Maria yang menemaniku makan tak begitu kusimak lagi. Kebanyakan aku hanya menjawab “ iya” “tidak” atau hanya dengan mengangguk dan menggeleng. Makanan ini begitu menyita perhatianku. Tak terasa satu piring nasi dan seekor ikan mas arsik telah lenyap dan pindah tempat ke perutku. Aku bersendawa, kekenyangan. Maria terkekeh. Aku nyengir kuda.

Memang setelah kenyang baru otakku bisa berjalan dengan baik. Aku baru sadar kalau ada keanehan di makanan tadi. Bukan dari rasanya, tapi caranya. Menurut adat, seharusnya tadi paman tidak membungkus makanan itu. Biasanya mereka harus mempersembahkan makanan itu di depanku dan Maria sambil mengutarakan maksudnya memberikan makanan itu. Begitulah yang seharusnya berlaku sesuai adat. 


bersambung



cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#11)"