Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Maria Diperkosa?, Karma Itu Ada (#10)

Maria Diperkosa?, Karma Itu Ada (#10)

“Kurang ajar kau. Sekali lagi kau bercerita yang bukan-bukan tentang Maria akan aku bunuh kau” hardikku. Setetes darah mengalir dari hidungnya. Penjaga kantin memandang ke arah kami. Namun tampak mereka tak hendak berbuat sesuatu. Mungkin karena sudah biasa melihat kejadian seperti ini atau mungkin karena mereka terlalu sibuk dengan urusan sendiri. Aku tak tahu.

“aku ingatkan kau ya Mardi, suatu saat kau akan ingat kata-kataku ini. Ini akan menjadi penyesalan terdalammu. Aku ingin memberi tahu kau hal yang mereka tutupi darimu. Bodohnya kau begitu saja percaya kalau keperawanan Maria hilang karena kecelakaan mobil. Tapi kau malah tidak tahu berterima kasih. Ingat! Kau pasti harus membayar mahal atas apa yang kau buat ini” Gilang balik mengancam. Aku yang terlanjur kalap tak lagi selera mendengar kata-katanya.


Aku pergi meninggalkan Gilang yang tetap terduduk. Mungkin dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia alami. Tapi dibandingkan dia, aku adalah orang yang lebih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Itu seperti halilintar di siang bolong. Mana mungkin Maria diperkosa. Disaat malam pertama dengan Maria, aku tahu kalau dia memang sudah tidak lagi perawan. Namun dokter yang rutin memeriksa kesehatan Maria juga mengatakan kalau keperawanan Maria hilang saat kecelakaan lalu. Kecelakaan yang turut merenggut kedua kaki Maria.

Aku bingung harus bertanya pada siapa untuk memastikan hal ini. Adalah hal yang mustahil bila aku bertanya langsung pada Maria. Menuntut kejujurannya. Tapi apakah memang masih penting memperdebatkan sebuah keperawanan pada istri yang kini kucintai. Kalau memang betul cerita Gilang, berarti keperawanan Maria hilang karena diperkosa. Bukan karena kemauan dia sendiri. Sebenarnya bagiku yang menjadi masalah bukanlah keperawanan atau bukan. Tapi mengapa mereka tidak jujur padaku.

Aku tetap membelikan buah mangga seperti yang dipesan Maria tadi pagi. Bahkan aku tidak berniat mengusut masalah selaput dara padanya. Senyumnya terlalu tulus untuk aku lukai. Untuk mencari toko buah, aku harus memutar ke jalan lain. Sebab tak ada satu penjual buahpun yang kutemui sepanjang jalan dari rumah menuju kantor. Biasanya penjual musiman pasti ada. Namun karena saat ini bukan musim mangga. Jadi harus ke toko buah langsung. Sebelum sampai di rumah, sebuah sms masuk ke ponselku :

“Mar, maaf ya kalau selama ini aku tidak cerita sama kamu tentang Gilang. Sebenarnya ada beberapa karyawan yang tahu masalah Gilang. Tapi kami diminta untuk diam oleh Pak Surya. Aku sempat menguping pembicaraanmu dengan Gilang tadi. Jujur, masalah itu aku tidak tahu.” dari Dody.

Kuhembuskan nafas dalam-dalam. Mudah saja memaklumi Dody, aku bahkan tak pernah berniat menyalahkannya atas semua ini. Menurutku, alam ini akan bercerita sendiri. Perlahan, semua pasti akan terbongkar. Tak ada secuil masalahpun yang bisa tertutupi selamanya.

Sampai di halaman rumah, aku tidak melihat Maria yang selalu menunggu aku pulang. Biasanya dia selalu menyambut aku dengan senyumnya. Tapi kali ini aku tidak melihat dia dengan tatapan mata rindunya di depan pintu. Apa dia merajuk karena aku terlambat pulang? Atau dia sakit? Dengan tergesa aku masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu aku dapati Maria tengah berbincang dengan dua orang tamunya.

“eh Abang udah pulang” Maria menyambutku dengan senyumnya. Aku memandang kedua tamunya dengan senyum. Melihatku, mereka juga tersenyum. Aneh, lama sekali mereka memajang senyum sambil melihatku. Senyum mereka seperti senyum sepasang manekin yang dipajang di lemari kaca. Senyum yang ingin dibeli. Seperti senyum-senyum pramugari yang menawarkan makanan. Seperti senyum sales rokok yang menawarkan rokok edisi terbaru. 


bersambung….



cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Maria Diperkosa?, Karma Itu Ada (#10)"