Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Sang Pencerah yang Tak Utuh Memberi Pencerahan (Ketika Agama Dijadikan Pasar)

Sang Pencerah yang Tak Utuh Memberi Pencerahan (Ketika Agama Dijadikan Pasar)


hariansumutpos.com
Lukman Sardi berhasil memukau penonton Film Sang Pencerah. Film Hanung Bramantyo ini kembali menghidupkan suasana Yogyakarta di akhir tahun 1800 an. Banyak yang memuji keberhasilan film ini untuk kembali mengingatkan penontonnya tentang jasa sang pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923). Penonton disajikan drama menarik pergulatan tokoh tua dan muda dalam menentukan sebuah hukum agama.

Salah satu contoh esensi Film Sang Pencerah yang sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan ialah tentang pemakaian sesajen dalam berdoa. Ada hal yang tidak seimbang yang diterangkan dalam penggunaan dan penolakan sesajen dalam berdoa. Sesajen adalah sebuah tradisi turun temurun di dalam kehidupan masyarakat. Yang menjadi masalah bukanlah sesajennya, namun peruntukan sesajen itu sendiri tergantung kepada niatnya.


Sesajen bisa merujuk kepada makanan, bunga-bungaan, kemenyan atau hal lain yang diperuntukkan kepada leluhur yang telah berpulang atau makhluk halus. Namun di sisi lain, sesajen bisa diartikan sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur tanpa mengkultuskannya. Di sisi kedua ini tentu sajen tadi tidak menjadi hal yang dilarang. Tokh kita memang dianjurkan untuk menghormati orang yang telah berpulang ke Yang Maha Kuasa.

Di kampung saya sendiri, sajen ini masih menjadi pertentangan yang tak berujung. Di setiap penghujung lebaran biasanya orang-orang akan mengadakan selamatan di rumah masing-masing dengan mengundang para tetangga. Saat sang tuan rumah mengutarakan niatnya, di saat itulah kemenyan dibakar. Bagi yang tidak biasa mungkin akan heran, namun bagi sebagian besar orang kampung itu adalah hal lumrah. Mereka beralasan itu hanya untuk menghormati para leluhur yang telah mendahului.

Disisi lain, kehadiran Film Sang Pencerah seperti kembali menghidupkan aneka golongan-golongan agam Islam. Salah satu golongan agama islam yang disebut sesat pada saat ini adalah kaum Ahmadiyah. Telah sama-sama (belum sama-sama) kita ketahui bahwa Ahmadiyah sendiri adalah Muhammadiyah. Pada zaman kolonial, Muhammadiyah dilarang berkembang ke daerah lain. Organisasi Muhammadiyah hanya boleh ada di Yogyakarta. Untuk menyiasatinya Ahmad Dahlan menyuruh agar cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-daerah membentuk nama masing-masing. Hingga terbentuklah Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyahdi Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah (wikipedia).

Lalu apa yang membedakan Ahmadiyah sekarang dengan Muhammadiyah yang lampau? Bukankah pada saat itu kehadiran Muhammadiyah juga ditentang oleh para pemuka agama. Mungkin saja Ahamadiyah yang ditentang pada saat ini adalah Muhammadiyah di masa lampau. Hingga nanti pada suatu saat bila umat muslim sudah terbuka pikirannya maka mereka akan bisa menerima Ahmadiyah selayaknya Muhammadiyah.

Ketika Agama Dijadikan Pasar

Saya masih sering merenung sendiri kenapa Hanung begitu suka mengungkap masalah agama ke dalam film. Salah satu filmnya yang sangat mendapat pertentangan ialah Perempuan Berkalung Sorban. Di film ini juga terdapat kekeliruan yang sama yakni tidak adanya penjelasan berimbang tentang penetapan suatu hukum.

Contoh ketika Anissa (Revalina) bertanya tentang hak dan kewajiban seorang istri kepada suami pada saat jam pelajaran di kelasnya. Di kelas tersebut tampak sekali kalau islam disudutkan. Tak ada jawaban memuaskan dari sang Kiyai, yang ada hanyalah canda. Adegan berikutnya ialah ketika Anisa dan Sahabatnya ingin menonton film di Bioskop. Terdapat dialog yang sangat mengejutkan ketika Anissa berucap : “Haram?? bla bla bla”. Di lain adegan, ketika Anisa hendak Sholat lalu suaminya memaksanya untuk melakukan hubungan intim. Anisa jelas menolak karena ia hendak sholat. Saat itu juga suaminya mencekiknya dan menanyai kewajiban-kewajiban seorang istri melalui kitab-kitab dan hadist-hadist. Jelas sekali lagi islam disudutkan sebab di adegan itu tidak dijelaskan penolakan Anisa dengan dalil apa.

Adanya penyampaian pesan yang tidak berimbang kembali terulang di film Sang Pencerah ini. Hanung kembali menempatkan budaya dan tradisi lama sebagai terdakwa yang bersalah. Sang pencerah tentu datang ingin mencerahkan, bukan memberangus tradisi yang telah mengakar di masyarakat.

Hanung memang pandai melihat pasar Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Jadi ada kemungkinan dia sengaja menjadikan islam (umat) sebagai pasar yang tak berujung. Salah satu caranya yakni melalui film. Tapi alangkah baiknya bila film menyajikan hal yang berimbang tanpa memihak ke satu hal sifatnya subjektif.

pic : hariansumutpos.com
Open Comments

Posting Komentar untuk "Sang Pencerah yang Tak Utuh Memberi Pencerahan (Ketika Agama Dijadikan Pasar)"