Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Teknologi + Puisi = Kemanusiaan, Antara Presiden RI dan Chile

Teknologi + Puisi = Kemanusiaan, Antara Presiden RI dan Chile


Image and video hosting by TinyPic
Roxana Gomez, anak salah satu pekerja tambang yang diselamatkan, menangis saat melihat jalannya operasi penyelamatan di layar televisi di perkemahan khusus di dekat tambang San Jose, Copiapo, Cile, Rabu (13/10). Ayahnya, Mario Gomez, adalah orang kesembilan yang diangkat dari tambang sedalam 700 meter, tempat ia dan 32 petambang lain terjebak selama lebih dari dua bulan.
Bayangkan kini anda tengah berada di lubang dengan kedalaman 700M. Terkurung selama 70 hari dan nyawa anda mustahil diselamatkan. Masihkah anda berharap hidup?. Mungkin masih ada harapan tapi mungkin juga anda akan memupus harapan itu sedikit demi sedikit. Namun, ada satu kata yang menjadi lawan dari kemustahilan, yakni keajaiban. Keajaiban adalah satu kata yang menjadi buah bibir penduduk bumi begitu seluruh pekerja tambang di Chile terselamatkan dari genggaman malaikat maut. Ucapan selamat dari seluruh penjuru dunia mampir ke Chile. Bahkan Taiwan secara resmi mengundang para penambang tersebut untuk menjadi tamu kehormatan mereka.

Dimanakah keajaiban itu? Keajaiban itu bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Seorang esais Chile bahkan membuat sebuah kalkulasi spektakuler : Teknologi + Puisi = Kemanusiaan. Adalah Gurun Atacama Cile di San Jose yang menjadi bukti bahwa rasa kemanusiaan bisa menghasilkan keajaiban yang tak terkira. Keajaiban itulah yang akhirnya menyelamatkan nyawa 33 penambang tembaga dan emas tersebut. Keajaiban itu bisa membuat orang bertahan di dalam tanah selama 70 hari.

Ada satu hal lain yang berperan penting di suksesnya evakuasi para pekerja itu yakni cinta. Cinta antara para penambang dengan keluarga yang terpisah dari mereka. Cinta antara pemimpin negara pada rakyatnya. Cinta yang dilandasi oleh rasa tanggung jawab dan ketakutan akan kehilangan orang-orang yang berjasa bagi negaranya. Cinta dari keluarga yang takut akan hilangnya orang-orang yang selalu berjuang demi hidup mereka. Dan cinta dari Tuhan yang tetap menghendaki hambanya yang tangguh untuk tetap hidup.

Kisah ini mengingatkan saya kepada sebuah kisah lain yang tak kalah menakjubkan di California. Pagi itu sebuah gempa “kecil” mengguncang California. Seorang tukang sapu sebuah gedung pusat perbelanjaan terjepit reruntuhan gedung. Pekerja asal Amerika Latin ini pun harus bertarung dengan waktu. Petugas pemadam kebakaran berusaha mengeluarkannya dari reruntuhan. Dengan tingkat kesabaran yang tinggi akhirnya sang pekerja terselamatkan setelah proses evakuasi memakan waktu lebih dari 17 jam diantara jepitan beton.

Begitulah betapa berharganya nyawa para pekerja kecil dan tukang sapu di luar sana. Mereka tak sungkan mengerahkan seluruh sumber daya untuk menunjukkan cinta dan kasih kepada warga yang kesulitan. Padahal sejauh ini kita merasa kalau orang Eropa yang kebanyakan atheis akan cenderung egois. Nyatanya solidaritas kita sebagai orang yang mengaku agamis malah dipertanyakan.

Saat ini membandingkan Presiden SBY dengan Presiden Cile, Sebastian Pinera, tentu bagaikan langit dan bumi. Tak segan-segan bahkan seluruh penduduk dunia mengalamatkan pujian bagi Pinera. Yang terlucu adalah ketka saya membaca sebuah komentar di sebuah artikel kompas berkenaan dengan proses evakuasi para penambang Chile yang bunyinya : “Pak Pinera, maukah menjadi Presiden kami barang sebulan saja?”.

Jumlah 33 penambang yang terkubur sedalam 700 meter tentu tidak bisa dibandingkan dengan ratusan korban Wasior. Tak bisa pula dibandingkan dengan korban tsunami Aceh yang berjumlah ratusan ribu orang. Tapi saat itulah presiden Negara Tercinta ini menyebutkan bencana Wasior sebagai bencana “kecil” dibandingkan Tsunami Aceh. Padahal korban di Wasior adalah ratusan nyawa. Tak bisa dibayangkan bila korban hanya 33 orang, pastinya presiden atau bahkan menteri pun tak perlu angkat bicara. Cukup ketua RT saja yang klarifikasi ke media.

Ketika para penambang mengalami tekanan hebat. Para psikolog negara itu bahkan membuat video tele conference untuk menenangkan jiwa mereka. Semua bekerja sesuai kapasitasnya. Para pakar nutrisi mengirimkan makanan yang tak biasa. Mereka tahu kalau sistem pencernaan para korban tidaklah normal hingga tak mungkin “dijatahi” makanan biasa. Dikirimlah makanan dan minuman yang gampang dicerna karena selama terkurung, tubuh para penambang telah menyusut kehilangan lemak dan protein.

Bandingkan dengan korban bencana di Indonesia yang selalu dikirimi Mie Instan yang sekarang tengah terpuruk popularitasnya itu. Lucu. Pemimpin dan seluruh jajaran pemerintahan seharusnyalah belajar dari kejadian di Chile ini. Betapa mereka menghargai rakyatnya seharga manusia. Bukan seharga ternak yang hanya pantas menerima mie instan hasil sumbangan “sponsor”.

Ada bayangan menggelikan. Mungkin kalau yang terkubur itu adalah para pekerja di Indonesia, mungkin mereka akan dikirimi Al-Quran atau Al-Kitab dan kata-kata mutiara agar para pekerja tetap sabar menunggu ajal. Akh jadi warga Chile memang membuat iri. Saat mereka terkubur, sempat-sempatnya mereka meminta bir.

:)

Elegi Pagi.
Open Comments

Posting Komentar untuk "Teknologi + Puisi = Kemanusiaan, Antara Presiden RI dan Chile"