Syariat atau Cari’ap?
Kemarin,1 Oktober 2010, Hukuman cambuk dilakukan terhadap Rukiah (22) dan Murni (27) di depan Mesjid al-Munawwarah kota Jantho, Aceh Besar. Hukuman ini diberikan lantaran ke dua perempuan itu tertangkap basah sedang berjualan nasi di siang hari puasa oleh petugas. Meskipun beberapa laki-laki sebagai konsumen juga ada di sana saat penangkapan dilakukan, namun petugas tidak menangkap mereka. Alasannya, laki-laki itu kabur sebelum ditangkap. Prinsip petugas: Kalau ada yang lebih mudah kenapa melakukan yang sulit? Karena menangkap perempuan penjual nasi lebih mudah, maka laki-laki yang kabur itu tidak diusahakan untuk dicari, meskipun saya yakin itu bukan hal yang sulit dilakukan kalau mereka mau. Seberapa besar sih Jantho?
Kedua wanita dari Gampong Baet, Kecamatan Baitussalam Aceh Besar tersebut terbukti bersalah telah melangar Pasal 22 juntho pasal 10 ayat 1 Qanun (Perda) nomor 11 tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah dan Syariat Islam di Aceh.Dalam pasal itu dikatakan “setiap orang atau badan usaha di Aceh melarang menyediakan fasilitas kepada orang Muslim yang tidak berpuasa pada bulan Ramadan. Jika terbukti melangar, mereka diancam pidana satu tahun penjara atau denda sebanyak Rp3 juta atau dicambuk di depan umum paling banyak enam kali.” Dan kedua wanita ini terbukti telah menyediakan fasilitas untuk laki-laki yang tidak berpuasa sehingga mereka dihukum dua kali cambuk di depan umum.
Hukuman yang diberikan ini mengingatkan saya pada seorang nenek yang dihukum penjara tiga bulan setelah “terbukti” mencuri coklat di kebun majikannya. Sang nenek yang tidak tahu itu adalah pencurian mengakui kalau ia memang melakukannya. Namun ia sempat heran kenapa kali ini ia dituduh mencuri padahal sebelumnya hal yang sama pernah dilakukan. Selain itu hal yang sama juga dilakukan oleh banyak orang lain. Atau dua laki-laki yang dihukum penjara karena mencuri semangka untuk melepaskan lelah dalam perjalanan. Sembilan anak SD yang dimasukkan penjara karena main tebak-tebakan gambar uang koin. sekeluarga masuk penjara karena mengumpulkan sisa kapas di tempat menjemur kapas. dan sederetan hukum aneh yang lain.
Sebenarnya apa yang diinginkan oleh Syariat Islam di Aceh? Bagaimana aparaturnya mendefinisikan Islam? Ini menjadi penting untuk ditanyakan kembali sebelum ketidakadilan dalam penghukuman memangsa semakin banyak rakyat kecil dan tak berdaya, di sisi lain kejahatan-kejahatan besar semakin meraja lela. Atau dengan kata lain kita perlu merajam dalil-dalil syariat islam sebelum merajam orang yang kita anggap melanggar syariat Islam (Affan Ramli, Merajam Dalil Syariat Islam, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010). Jangan-jangan dasar penerapan syariat Islam yang ada di Aceh itu sendiri memang tidak logis, bahkan tidak islami, sehingga wajar saja hukum yang kemudian dijalankan juga tidak logis dan islami. Lebel saja syariat Islam, namun seungguhnya ia adalah hukum yang dikonstruksi oleh sekelompok orang yang tidak memiliki sensitifitas syar’i.
Bagi saya, sebelum hukuman itu mementingkan keadilan dan berpihak pada kaum lemah,miskin, tersingkir dan difabel (KLMTD), maka ia belum bisa dikatakan hukum Islam. Hukum islam harus punya sensitifitas terhadap pemberdayaan dan penyedaran spiritual melalui pendekatan humanis bukan dengan penghukuman dan kekerasan. Dan lebih jauh, Syiar Islam tidak akan tegak dengan penghukuman yang dilakukan terhadap dua wanita penjual nasi di sinag hari bulan ramadhan, namun ia akan bersinar kalau mampu mengangkat tumor kemiskinan dan kangker kemelaratan dari tubuh kaum miskin yang bahkan ada di belakang kantor-kantor pemerintah. Kalau tidak demikian, maka bukan Syariat Islam namanya, namun -meminjam Istilah Dr. Safir Iskandar Wijaya- Cari’ap Islam.
oleh Sehat Ihsan Shadiqin @ kompasiana
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Syariat atau Cari’ap?"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta