Vonis Sumartini, Warning Bagi Para Bawahan
Oleh :
(Sementara) Mas Lingga
Akhirnya palu diketuk. Sumartini terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana korupsi. Penjara dua tahun dan denda 50 juta rupiah wajib dipenuhi Sumartini. Tasbih yang dikenakannya selama menjalani persidangan tampaknya tak mampu mempengaruhi putusan sang hakim. Komat-kamit bibirnya dalam mengucapkan asma Sang Pencipta sepertinya telah terlambat. Penyesalan tinggallah penyesalan. Nasi sudah menjadi bubur.
Vonis yang dijatuhkan pada Sumartini setidaknya menjadi satu gambaran bahwa penegakan hukum masih berjalan, meski pincang. Jika memang telah terbukti bersalah, sudah sepantasnyalah dia menerima konsekuensi dari apa yang telah dibuatnya. Dia harus bertanggung jawab atas semua tindakannya yang sangat merusak citra Polisi. Di satu sisi, vonis atas Sumartini akan memberi efek jera dan takut bagi penegak hukum lainnya untuk melakukan kejahatan serupa.
Namun di sisi lain, yang menjadi pertanyaan mendasar dan menggelikan adalah ketika atasannya tidak tersentuh sama sekali. Memang sedari awal Tini sudah merasakan kejanggalan ketika orang yang lebih bertanggung jawab atas kasus itu malah tidak tersentuh. Para atasan yang disebutnya buaya-buaya itu hanya menjadi terperiksa. Bukan menjadi terdakwa. Namun apalah hendak dikata, hukum di negara ini memang tebang pilih.
Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi umum. Bahwa, jika posisi anda masih tanggung, maka hati-hatilah pada instruksi atasan. Peringatan ini tidak terbatas kepada aparat penegak hukum. Hal ini berlaku pada semua kalangan yang biasa menjalankan instruksi atasan. Bayangkan saja, Akp Sumartini yang menjalankan perintah harus mendekam di penjara selama dua tahun dan denda yang tidak sedikit.
Loyalitas pada atasan memang penting, tapi jangan sampi loyalitas itu membuat kita rela melakukan apa saja. Pikirkan lagi untung ruginya. Karena bila satu masalah terjadi, maka yang terkena imbasnya adalah si pelaku instruksi. Kalau saja ada yang mengatakan bahwa pimpinan bertanggung jawab atas anak buahnya maka sekarang hal itu mulai bisa dikoreksi. Kasus Tini inilah contohnya, tentang bagaimana atasan bisa saja cuci tangan dan tak bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya.
Saya bisa mengatakan hal ini karena saya pernah mengalaminya juga. Sekedar berbagi pengalaman, dulu saya adalah seorang calo penumpang di sebuah terminal di Medan. Saya bekerja di sebuah loket tak resmi. Ada instruksi dari boss yang mengatakan saya harus menjaga lahan parkir di depan loket agar tidak dipakai orang. Sebab lahan itu adalah tempat parkir bus loket kami. Saya yang memang sangat loyal tiba-tiba saja menjadi bodoh. Kenapa saya tidak bertanya dalam hati sendiri bahwa sebenarnya lahan itu bukan miliknya yang sah.
Hingga pada suatu hari ada seorang preman yang memarkikan kendaraannya di lahan tersebut. Dengan gagah saya melarang preman tersebut dan berujung ke adu fisik karena si preman tak terima dilarang parkir di lahan tersebut. Ketegangan baru mereda ketika banyak orang yang melerai dan menengahi. Apa yang membuat saya meradang ialah ketika si boss tidak mengakui bahwa dia pernah menyuruh saya untuk melarang orang untuk parkir di tempat itu. Hah. Lucu.
Semudah itukah mereka yang mengaku bertanggung jawab atas anak buahnya tiba-tiba cuci tangan? Pada hakikatnya, atasan itulah yang lebih bertanggung jawab. Namun itu hanya hakikat. Zaman sekarang, muslihat lebih lebih berguna daripada hakikat.
Bagi kalangan bawah, waspadai perintah atasan anda!
pic : deqoer.blogdetik.com
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Vonis Sumartini, Warning Bagi Para Bawahan"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta