Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#12)

Karma Itu Ada (#12)

Mereka adalah orang tua. Sepantasnyalah sebenarnya mereka mengajarkan tentang adat yang benar pada pasangan muda seperti kami.

“tadi kenapa ga diserahkan seperti biasa ya?” aku setengah bergumam.
“iya maunya tadi juga begitu bang, abang sih lama banget pulangnya. Trus paman dan bibi buru-buru mau pulang katanya. Jadi ga sempat deh. Pokoknya tadi kan paman udah bilang maksudnya ngasih makanan itu”


Aku hanya bisa mengangguk. Memang adat ini aneh. Makanan seperti ikan mas dan ayam kampung selalu dianggap sakral. Jadi setiap ada seseorang yang punya niatan khusus, dua makanan itu pasti jadi pilihan. Lagipula menyerahkannya tidak boleh sembarangan. Penyerahannya harus sesuai dengan penanggalan yang diperbolehkan. Sebab ada juga hari dimana seseorang tidak boleh memotong hewan, hari tidak boleh ada pesta, dll. Penggunaan dua makanan seperti ikan mas dan ayam kampung itupun memiliki sejarah panjang yang hanya diketahui oleh orang-orang yang mengerti adat. Memang harganya tidaklah mahal, namun nilai darinya sangat tidak terbilang.

Sebelum malam semakin larut, aku bergegas mandi untuk menyegarkan badanku yang gerah. Kelebat-kelebat kejadian hari ini memang seperti lintasan-lintasan mimpi yang sulit aku percaya. Siraman air di tubuhku seperti menghanyutkan semua kegundahan-kegundahan yang ada. 

Seperti biasa, Maria telah menungguku di kamar. Ada saja hal yang membuat aku betah untuk terus ada disampingnya. Matanya yang teduh tiap kali memandang seperti memberiku tempat bersandar di saat-saat galau. Dia sedang membaca buku, sambil bersandar ke dinding ujung tempat tidur. Serius sekali kelihatannya.
“baca buku apa sayang?” tanyaku sambil mengenakan baju tidur yang baru aku ambil dari lemari.

“novel bang, ceritanya bagus banget”
“pasti roman ya?”
“iya, tapi ga picisan” belanya. Aku tersenyum saja. Tapi setiap kali aku hendak berusaha meraih novel yang dia maksudkan, dia pasti berusaha menyembunyikannya. Aku jadi curiga sendiri.
“boleh pinjam ga?”
“ikh, emang abang mau baca roman?”
“tergantung, kalau romannya bagus ya mau juga”

“owh, tapi roman yang ini ga boleh abang baca, lain kali aja ya” Maria tersenyum. Aku jadi makin penasaran. Ketika aku berusaha merebut novel itu Maria selalu mengecohku. Tangan kanan dan kirinya bergantian mengoper buku itu hingga aku tertipu. Rasa penasaranku sudah di puncaknya. Ketika tangannya telah tersudut, akhirnya dia menyembunyikan buku itu dibalik punggungnya. Ku gelitik pinggangnya agar mau melepas buku itu.

Bukannya menyerah, dia malah balas menggelitik aku juga. Karena memang aku paling tidak tahan geli, aku tertawa tidak karuan, tapi masih tertahan. Saat ujung buku itu sudah ada ditanganku, tanpa sengaja Maria menepis tanganku hingga buku itu terlempar ke lantai. Entah marah atau bagaimana, dia menatapku lama. Mukanya memerah. Dilingkarkannya kedua tangannya ke leherku. Di majukannya wajahnya menuju wajahku. Didekatkannya dahinya mendekati dahiku. Lalu didaratkannya hidungnya ke ujung hidungku. Kemudian dikecupkannya bibirnya ke bibirku.

Kedua tanganku yang tadi menggelitik pinggangnya kini berpindah ke pipi kiri dan kanannya. Aku ingin mengecup bibirnya tanpa lepas, selama mungkin. Hingga dia tersengal, terbatuk kehabisan nafas. Malam berjalan dengan syahdu hingga aku kelelahan. Mataku masih sempat membaca judul buku yang sempat terlempar ke lantai tadi, “Tips Memilih Nama Anak”.


bersambung…



cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#12)"