Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#19) Tiara.....

Karma Itu Ada (#19) Tiara.....

Aku membalikkan tubuh itu. Aku hendak menjerit sekeras-kerasnya. Dan benar itu Ara ku. Ara yang sebenarnya kini tak lagi menjadi milikku meski dihatinya ku yakin ada aku. Wajahnya penuh peluh, beberapa helai rumput masih menempel di wajahnya yang terjerembab tanpa ampun tadi. Nafasnya masih tersengal. Dadanya menceritakan keletihan itu lewat naik turun yang tak berirama.


Aku tak sanggup beradu tatap dengannya. Aku bersimpuh di rerumput lembab itu. Kuangkat setengah badannya ke pangkuanku. Beberapa jenak yang terlewati tak mampu kuisi lewat kata-kata. Aku hanya ingin menatapnya saja seperti dulu. Saat aku masih miliknya sepenuhnya. Anehnya, aku masih melihat tatapan ketulusan di matanya. Meski ada riak-riak tak rela, liuk-liuk benci dari tepi-tepi matanya, tapi tak tampak lagi amarahnya.

“Ara..!” ucapku seperti berbisik. Dia masih diam. Aku merapatkan wajahnya ke dadaku yang masih bergemuruh. Dia menolakku dengan membentangkan kedua telapak tangannya ke dadaku. Akh Tiara, apa salahku hingga aku tak boleh lagi mendekapmu?
“Ara.. aku kangen banget sama kamu, kemana saja kamu menghilang selama ini ha ?”

**

Hari-hari paling mendebarkan bagi pria, mungkin, adalah ketika ada dua wanita yang menghuni hatinya. Begitu juga hati dan hariku. Mereka memang tak memiliki porsi yang sama. Mereka seolah sadar kalau pria yang menyayanginya adalah orang yang senantiasa bisa pergi kemana saja. Selayak daun yang bergerak searah angin. Sesekali terlalu condong ke timur bila angin dari barat berhembus terlalu kuat. Dan sesekali condong ke barat bila angin dari timur menampakkan kekuatannya.

Mengunjungi Tiara di tiap akhir pekan adalah liku-liku baru yang harusnya tak aku jalani. Tapi aku juga tak bisa mencegah setiap debar yang membuncah sewaktu rindu membelenggu. Tiara seperti candu yang menggerogoti hasratku. Tiara dengan senyum lawasnya terlanjur menawan hatiku dulu. Kini, aku seperti tawanan yang kembali menyerahkan diri kepada penawanku. Kenapa aku kembali? Mungkin karena dulu penawanku itu tak pernah meminta uang tebusan atas kebebasanku, meski sebenarnya saat itu ia mampu dan berhak atas beberapa keuntungan. Hal utama yang mengembalikan aku ke Tiara adalah ketulusannya.

Jangan bertanya masalah Maria dulu. Aku sedang tak hendak membicarakannya. Memang senyumnya tak pernah pudar saat menyambutku sepulang kerja. Perutnya yang semakin menggembung juga menambah porsi perhatianku padanya. Tapi saat ini aku benar-benar tak ingin menceritakan Maria dulu. Biarkanlah ia merawat calon bayi yang sangat kami nantikan itu. Setiap pagi wajahnya semakin ceria dengan senyum-senyum kecil menghiasi bibirnya. Ada nyanyian-nyanyian, ada tawa-tawa kecil tapi renyah.

“aku ga nyangka Mar, kamu setega itu sama Maria”
“biarkan aku membayar hutangku Dod, Tiara pantas mendapatkannya”
“tapi itu sama dengan merusak Tiara dan mengkhianati Maria, sadar kamu?”
“tak separah itu juga, anggap saja aku tengah bernegosiasi. Dan kini posisi tawarku tidaklah tinggi, jadi aku harus rela jadi objek”
“terserah apa katamu lah, tapi segeralah akhiri kisahmu dengan Tiara. Ingat! Maria tengah mengandung anakmu”
Siapa yang pernah memegang rahasia besar orang lain, pastilah akan mendapat beban serupa Dody. Aku tahu kini ia tengah dalam dilema, langkah terbaik baginya ialah menyadarkanku. Seandainya ia tidak mampu, mungkin ia akan berbicara pada Tiara atau memberitahu semuanya pada Maria. Aku tak mau berpikir yang aneh-aneh, biarkan saja Dody dengan keputusannya. Tentunya aku hanya berharap Dody dapat diam dan menganggap semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Tapi memang semuanya baik-baik saja kan?

Kali ini aku memilih datang di hari kerja. Karena bila aku datang di hari libur atau akhir pekan, tentu saja waktu untuk berduaan dengan Tiara sangat sedikit karena jumlah pengunjung yang banyak. Posisiku di tempatku bekerja juga sudah mulai merangkak naik sehingga izin untuk pergi ke tempat ini mudah saja aku dapat. Tapi tentu saja aku tidak bilang ke Huesca.

Hari ini adalah kali keempat aku mengunjungi Tiara ke Huesca. Huesca makin indah saja bersama Tiara. Saat pertama ke Huesca dan melihat Tiara di sana, sebenarnya dia telah menjadi karyawan di situ. Saat istirahat, dia duduk sambil minum, yakni ketika dulu aku melihatnya. Tiara mengetahui Huesca dari temannya yang telah beberapa kali datang ke tempat itu. Karena seperti memiliki “visi” dan “background” yang sama, akhirnya Tiara memutuskan untuk bekerja di situ.

“gimana kerjaannya?”
“bagus bang”
“gimana pengunjungnya, makin ramai tidak?”
“kalau hari biasa begini sih tidak begitu ramai bang”
“jadi bisa dong....”
“bisa apa?” Tiara menatapku penasaran.
Lalu aku membentuk jari kiri dan kananku menjadi seperti paruh burung dan mempertemukan tangan kanan dan kiriku. Aku memperagakan bentuk burung yang tengah saling memagut. Mungkin karena geli melihatnya, Tiara mencubit pinggangku. Tidak sakit. Malah aku ingin dicubit olehnya seribu kali lagi. Ayo Tiara, cubit aku terus sampai semua rinduku tumpah tak bersisa. Agar semua dosaku yang telah tercetak di hatimu perlahan memudar.

Begitulah Araku, Tiara. Dia terus bermanja disampingku. Terkadang kami bercerita. Kadang saling tertawa entah menertawakan apa. Kadang berlari dan saling berkejaran lalu berhenti setelah terengah-engah. Tak bosan tertawa.

Mungkin aku tengah kasmaran, aku kembali tergila dengan cinta Tiara. Kisahku dengannya adalah kisah yang sama sekali tak ku duga. Tak kuduga indah dan mendebarkannya. Dan kini aku tengah berlari mengejar Tiara. Dia berlari sambil tertawa, pinus-pinus menggemakan riangnya. Hari perlahan merangkak naik, pendar-pendar cahaya memantul dari dedaunan ke kening kasihku itu. Wajah itu berbanding terbalik dengan kesenduan yang pernah ku hidangkan padanya dulu. Tepat ketika aku mengatakan kalau aku harus berpisah dengannya.

Peluh berlomba membanjiri baju kerjaku, aku tak perduli. Seperti tak perdulinya Tiara dengan tatapan orang-orang yang menghilang satu-satu di telan sunyi. Ya kami telah menjauh dari keramaian. Perlahan orang-orang mulai tak ada. Hanya aku dan Tiara serta pohon-pohon tinggi menjulang. Sesekali nyanyian burung-burung pemakan buah menambah eksotisme rindu ini. Tiara, tempat ini sunyi sekali.

Bersambung...

Cerita sebelumnya baca di Sini
Cerita Selanjutnya baca di sini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#19) Tiara....."