Karma Itu Ada (#18) Tiara kah Itu?
Memang sudah saatnya aku melupakan Tiara dan membahagiakan Maria saja. Sebab Maria adalah wanita yang tengah mengandung anakku kini. Hari-hari yang kulalui adalah memanjakannya, seharusnya. Aku juga merasa gembira karena sebentar lagi aku akan utuh menjadi seorang Pria. Banyak orang bilang kalau belum punya anak, maka kelelakian seseorang masih akan diragukan.
Sulit memang menggambarkan kebahagiaanku ini. Ada banyak yang berkecamuk. Ada takut, bangga, berdebar. Takut karena aku tidak yakin sebesar apa aku bisa membahagiakan istri dan anakku kelak. Bangga karena aku akan merasa menjadi lelaki sejati bila berhasil menjalaninya dengan baik. Dan berdebar karena ini adalah pengalaman pertamaku.
“jalani sajalah” nasihat Dody “aku senang kalau Maria sudah mengandung anak kamu, itu artinya kamu telah berhasil mencapai harapan Pak Surya, tapi ada satu hal yang masih membuat aku penasaran”
“apa itu?” tanyaku.
“apa yang membuat wajah kamu dulu menjadi pucat pasi ketika membeli tali di Huesca? Tolong jangan bohong padaku”
Akupun menceritakan tentang Tiara pada Dody. Dia hanya manggut-manggut dengan kening mengkerut.
“baiknya kamu lupakan saja dia!” Dody mengingatkanku.
“tapi aku merasa berdosa, aku pernah berjanji padanya untuk menjadi miliknya. Aku ingin minta maaf secara langsung sekali lagi. Pertemuan kali itu benar-benar mengejutkanku. Seandainya dia telah tulus memaafkanku, mestinya aku tak ketakutan melihatnya. Aku juga bingung kenapa dia ada di Huesca”
“mungkin dia sedang piknik juga”
“mengapa dia sendirian?”
“entahlah” Dody juga menyerah.
“oh iya, bagaimana kalau kita kesana lagi berdua minggu ini?”
“akh edan kamu. Ingat Maria dong. Kalau begitu aku saja yang kesana, aku akan titipkan pesan kamu ke Tiara”
“tidak usah Dod, aku yang akan pergi kesana”
**
Aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke Huesca sendirian. Perjalanan sendiri tentunya sangat membosankan, aku telah berbohong pada Maria. Aku kaget, sejak kapan aku pandai berbohong. Tapi, demi hubungan masa depanku yang baik, aku harus benar-benar menuntaskan hubunganku pada Tiara. Aku banyak mendengar kisah orang-orang yang tidak bisa bahagia dalam hidup bila pernah menyakiti hati orang yang menyayanginya dengan tulus. Dan tentu saja aku sangat takut bila hal itu terjadi padaku. Dan hanya Dody yang tahu kepergianku ini. Meski Dody berulang kali menawarkan diri dan bahkan mengatakan kalau Tiara itu hanya halusinasiku namun aku masih percaya dengan mataku. Aku tak mungkin salah.
Seperti biasa, aku memarkirkan mobil di tempat kami dulu. Bedanya, kali ini aku tidak usah menggelar tikar. Aku hanya ingin beberapa saat disini. Meski pemandangan dan suasananya tetap indah seperti yang lalu, namun keadaan hati tetap tidak bisa berbohong. Keindahan hanya dapat dinikmati lewat ketenangan hati.
Mataku awas menebar pandangan mengeliling, tiap jengkal tempat ini kutatapi. Namun tanda-tanda Tiara tak kutemukan.
“Cocacola nya satu Mbak!” pintaku pada pelayan di cafe itu. Cafe tempat Tiara dulu kulihat. Tatapanku kubiasakan sewajar mungkin agar tidak mengundang curiga orang lain.
“oh iya, disini ada wanita yang namanya Tiara nggak Mbak?” Tanyaku pada pelayan yang mengantar minuman ke mejaku. Dia bukan pelayan yang dulu aku tanyai, wajah mereka khas. Aku sangat hapal. Hal itu juga menambah keyakinanku bahwa yang dulu itu memang Tiara.
“Tiara?” dia bertanya setengah bergumam.
“ia, mungkin ada langganan Huesca yang namanya Tiara atau...”
“ngg... Tiara? Tidak ada yang namanya Tiara di sini Mas” Ucapnya seperti ragu, dan keraguannya menambah kecurigaanku. Baru saja selesai dia mengucapkan kalimat itu, dia langsung berlalu meninggalkanku. Aneh. “permisi Mas, saya harus melanjutkan pekerjaan saya”
“oh iya, terimakasih ya” ucapku tulus. Dia mengangguk, memutar balik badannya dengan tergesa. Aku menyulut sebatang rokok mild. Menghembuskan asapnya keras-keras. Ada sedikit kesal. Bagaimana mungkin, jauh-jauh aku kemari hanya untuk sesuatu yang sia-sia.
Namun, baru hembusan asap kedua aku keluarkan. Ada sekelebat orang berlari di kejauhan. Jaraknya mungkin 30 meter di depanku. Aku mungkin tidak akan peduli dengan orang itu, tapi aku hafal cara berlarinya. Bentuk badannya. Itu Tiara. Kuletakkan selembar uang 50 ribu di atas meja. Aku berlari mengejar. Ku kerahkan semua kekuatanku untuk mengejar. Pohon-pohon pinus yang berdiri menjulang seperti tak kuhiraukan. Tanah yang lunak membuat tapakan kaki menjadi nyaman.
“Tiara....!” Panggilku. Namun sosok itu tak menoleh sedikitpun. Logikanya, biarpun itu bukan Tiara, harusnya dia menoleh ke belakang bila ada orang yang menjerit memanggil. Tapi ini tidak, dia hanya berlari tanpa menoleh ke belakang. Kutambah kecepatan lariku seiring kecepatan larinya yang semakin melambat. Jarakku semakin dekat. Mungkin hanya tinggal 10. Larinya juga semakin melambat, mungkin dia kelelahan. Sama sepertiku.
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#18) Tiara kah Itu?"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta