Gila, 1 Lembar Kertas Harganya Rp 10 Ribu (Kebobrokan Dikpora)
Biasanya saya suka bercanda, tapi kali ini tidak. Tadi pagi, saya memiliki keperluan untuk menyambangi kantor Pendidikan Deli Serdang, Sumatera Utara untuk memvalidasi surat pindah adik sepupu saya. Setelah mengurus keperluan pribadi ke kampus, kemudian saya pergi ke Kantor Dikpora Deli serdang yang berjarak sekitar 30km dari kota Medan itu. Di sinilah saya mengetahui secara jelas kebobrokan di Dikpora Deli Serdang, Sumut, yang sudah mengakar itu.
Beberapa bulan sebelumnya, saya juga pernah kesana untuk mengurus surat pindah adik saya tersebut. Waktu itu saya hanya diberi surat pengesahan. Karena waktu itu telah menunjukkan pukul 15.30, maka saya tidak bisa menyelesaikan surat pindah tersebut secara tuntas. Beberapa meja di kantor tersebut telah kosong. Mereka telah pulang. Tempat foto copy yang berlokasi di perkantoran tersebut juga telah tutup. Karena hanya memperoleh stempel pengesahan dan tanda tangan dari salah seorang petugas yang bernama Pak S, maka disarankan untuk kembali lagi beberapa hari ke depannya. Ketika hendak pulang, petugas tersebut memandang mata saya. Dia menyatukan ibu jari dengan telunjuknya sambil digesek-gesekkannya kedua jarinya tersebut. Oh, dia sedang minta uang, pikirku.
“uang apa Pak?”
“uang rokok” (sebenarnya saya bingung, kenapa saya yang harus memberi uang rokoknya)
“berapa pak?”
“dua puluh ribu”
“oh iya, gimana kalau nanti setelah saya kembali lagi baru saya kasih pak, ini kan belum tuntas, saya harus kembali lagi kemari”
“Ya, nanti tidak usah bayar lagi, ini no telepon saya” katanya sambil menyodorkan no teleponnya.
Karena tidak suka berlama-lama, akhirnya saya memberinya uang tersebut.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya kemarin sore. Saya ditelepon oleh paman saya untuk kembali mengurus validasi surat pindah tersebut. Karena hanya minta validasi, mungkin hanya sebentar, pikirku. Jam 11 siang tadi, sampailah saya dikantor tersebut. Sialnya, no handphone yang dulu diberi Pak SS, tidak lagi saya simpan. No itu telah hilang bersama HP nya sekaligus.
Di kantor itu, orang-orang masih ramai. Beberapa orang berpakaian coklat-coklat masuk ke kantor tersebut. Mungkin mereka tengah menerima gaji, aku membatin. Jadilah urusan itu agak melar, “hanya” dua jam.
“Bu, saya mau validasi surat pindah adik saya” kataku pada seorang petugas wanita yang tampak masih muda, setelah masuk ke dalam.
“oh iya, mana suratnya?” tanyanya dengan senyum yang manis. Oh sejuknya hati ini jika semua petugas memberikan senyum semanis itu.
“tunggu di luar saja ya Dik” suruhnya. Tapi setelah menunggu 30 menit, saya masuk lagi untuk memastikan. Saya tidak sabar sebenarnya, karena yang dikatakannya dengan menunggu “di luar” tadi, adalah entah di luar yang mana. Sebab saya tidak menemukan tempat duduk untuk menunggu. Jadi 30 menit saja sudah kebas kaki saya.
“sudah siap Bu?”
“belum dik, sabar dong. Ini juga masih banyak yang menumpuk. Ganteng-ganteng kok ga sabaran sih” Bukan tidak sabar Bu, tapi kaki ini kalau disuruh berdiri sampai 30 menit ya sakit juga, hatiku berkata sendiri. Tapi aku suka dengan kejujurannya dengan mangatakan “ganteng” tadi. Sulit menemui orang jujur sekarang ini.
Lelah menunggu, akhirnya kuputuskan untuk sarapan terlebih dahulu, meski sudah agak siang. Selesai makan saya masuk lagi ke dalam.
“sudah siap bu?” Pada petugas yang lain, Ibu SM. Saya melihat kantor sudah lengang. Mungkin mereka sedang makan siang.
“sudah dik” tapi setelah itu dia lupa entah dimana meletakkan surat itu, akhirnya suratnya harus diketik ulang. Sia-sialah penantian saya selama satu jam lebih tadi. Saya mengakui cara kerjanya cepat, tapi karena dia bekerja sambil chat Via YM (Yahoo Messenger) dan Facebookan (saya tidak tahu apa ini bagian dari pekerjaan mereka), akhirnya kerjanya yang cepat itu jadi lama juga.
“nih dik, udah selesai”
“ini saja bu?”
“iya” jawabnya, tapi saat saya hendak keluar, baru dia bilang:
“ada uang administrasi nya lho dik”
“akh, saya kirain gratis bu, berapa?”
“ga lah dik 20 ribu saja, sekedar uang untuk ganti kertas” kertas yang saya terima itu cuma 2 lembar. Artinya 1 lembar 10 ribu rupiah. Akh, lagian tidak becus amat sih Dikpora sampai kertas saja tidak disediakan. Masa saya harus membayar 10 ribu/lembar.
“oh iya, minta kuitansi nya dong bu”
“owh, ini gak pake kuitansi dik” dia agak sedikit heran sambil memandang rekan prianya yang sedang merokok di sebelah meja kerjanya. Padahal jelas-jelas di depan jidat si pria tersebut ada tulisan “dilarang merokok di ruangan ini, demi kesehatan kita bersama”.
Oalah, saya juga pura-pura bodoh. Ini kan cuma uang masuk mereka. Cuma saya tidak ingin berdebat karena surat pindah itu sangat dibutuhkan adik saya untuk mengikuti UN. Kalau saja surat pindah milik saya, maka saya akan mendebat mereka.
Berarti total 40 ribu saya bayar ke mereka. Tanpa kuitansi. Artinya uang haram lah yang mereka makan. Apalagi saya lihat si Ibu SM tengah mengandung. Asupan gizi haram lah yang dia beri ke jabang bayinya. Praktek-praktek seperti ini mungkin dikira wajar bagi sebagian mereka, tapi hal itu tetap menambah kesulitan bagi orang lain. Padahal mereka telah digaji oleh negara, mereka makan uang rakyat. Tapi entah kenapa tetap saja suka memeras rakyat. Salah satu bukti kebobrokan pegawai birokrasi yang dibiayai negara.
Semoga salah satu pegawai Dikpora DS membaca artikel ini. Semoga mereka berubah. Uang haram yang anda makan tidak akan pernah menjadi berkah bagi tubuh, apalagi uang itu untuk biaya anak-anak mereka. Tapi saya juga tidak yakin benar mereka tahu Artikel ini, sebab dari semua komputer mereka yang saya lirik, mereka cuma membuka Facebook, Yahoo Messenger dan Email.
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Gila, 1 Lembar Kertas Harganya Rp 10 Ribu (Kebobrokan Dikpora)"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta