Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#21) Akh, Maria

Karma Itu Ada (#21) Akh, Maria

Naluri orang tua tak usah diragukan, begitu juga dengan orang tuaku. Siang itu mereka meneleponku dan bertanya bagaimana keadaanku? Apa aku baik-baik saja?. Aku katakan pada mereka kalau aku baik-baik saja. Ibu yang tidak percaya dengan jawabanku malah mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang layaknya diajukan ke anak SD, apa aku sudah makan? Apa aku baik-baik saja?.

Entah kenapa malasku menjawab semua pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul. Untunglah ada kabar gembira dari mereka, bahwa adikku sudah riang kembali. Rasa bersalahnya dulu, kini mulai berusaha dia lunasi dengan bekerja keras. Tak pernah dia malas untuk bekerja dan menjaga ladang kami kapanpun, diminta atau tidak. Adikku kini telah bisa tersenyum kembali. Sebenarnya kasihan aku padanya, tapi kini aku lebih kasihan pada diriku sendiri. Adikku juga berjanji kalau suatu saat dia akan menebus kesalahannya. Namun dalam hati aku bingung, bagaimana mungkin dia menebus rasa sakit ini. Terpenting adalah aku juga telah melupakan itu semua, tepatnya, berusaha melupakannya.

Aku tak tahu harus memaki atau berterima kasih. Karena dengan tragedi itu aku telah menikmati dua cinta dari hati yang berbeda. Tiara dan Maria. Dan kenyataan yang tak pernah kuterka kini menjadi nyata. Maria ada di bilik kanan dan Tiara ada di serambi kiri.

Bapak menutup telepon dengan pesan agar aku menjaga hubungan rumah tanggaku dengan baik agar langgeng sampai kakek-nenek. Aku mengiyakan pelan, karena aku ingin istirahat dulu.

**

Menantang hari adalah seperti perjalanan musafir di padang pasir, kadang kering, kadang ada oase. Kadang tandus, namun kadang ada juga pohon kurma tempat bersandar. Kadang bertemu orang jahat, tapi kadang bertemu dengan orang baik yang bahkan bersedia menumpangkan untanya pada kita pejalan kaki.

Dari itu, dari keseimbangan itu, kehidupanku pun tak berubah. Aku masih bekerja di perusahaan mertuaku. Tiara tak pernah lagi menghubungiku, Doddy juga kembali menjadi teman sejatiku ditambah kenalan-kenalan baru yang mulai akrab denganku. Tak ada yang berubah. Semuanya biasa saja.

Yang berubah adalah mungkin hanya rasa manja Maria yang semakin membuatku makin sayang padanya, rengekannya di tengah malam saat meminta yang aneh-aneh. Kesal memang, tapi karena baru kali pertama. Aku menikmati saja. Tanpa protes yang akan menyakiti hatinya. Aku hidup di zaman modern, tak percaya tahayul. Tapi ancaman orang-orang tua yang mengatakan kalau rengekan istri ngidam harus dipenuhi, kadang membuat aku takut juga.

Permintaan Maria pun aneh-aneh saja. Itulah Maria, mungkin karena dia tahu aku begitu sayang padanya makanya dia berbuat seperti itu. Dia pernah ngidam untuk memegang kepala lurah kami. Duh, maksudnya lurah kami punya kepala. Aduh, gimana jelasinnya ya. Begini, di kelurahan kami kan ada pak lurah, nah setiap orang kan ada kepalanya. Kepala yang diatas leher itu. Nah, karena lurah kami itu kepalanya botak, jadi Maria ingin sekali memegangnya.

Untuk menyampaikan itu kepada pak Lurah, tentu saja aku sungkah setengah mati. Tapi siapa pula yang dapat menyampaikan itu pada pak lurah selain aku. Akh, Maria ada-ada saja.

“selamat pagi pak”
“selamat pagi pak Mardi” Pak Lurah, ramah bukan kepalang. Tak terbayang bagaimana dia akan merespon permintaan Maria. Maria yang ada didepanku sedang duduk murung di atas kursi rodanya. Semalaman aku mati-matian menolak permintaannya memegang kepala Pak Lurah. Tapi itu tadi, aku takut mendesaknya lebih jauh. Karena kata orang tua, permintaannya itu harus dituruti kalau tidak mau kelak anaknya terlahir cacad. Aku yang hidup di zaman modern, takut dengan masa lalu.

“ada yang bisa saya bantu pak?”
“hm…, begini pak.. anu.. itu” bah, aku tak sanggup bicara. Lalu istri pak Lurah datang.
“ada apa nih rame-rame? Duh di Maria, gimana kandungannya, sehat kan? Ntar kalau ada yang mau ditanyain, tanya aja sama ibu. Trus kalau ngidam apa gitu, bilang aja sama suamimu. Jangan malu-malu. Karena kewajiban suami lho untuk menuhin nya” sejak kapan Maria akrab dengan Bu Lurah pikirku. Aku masih berkecamuk dalam hati.

“trus kemari pagi-pagi, ada perlu apa nih?” Bu Lurah masih nyerobot. Untung juga sih, jadi kegugupanku tidak begitu kentara.

“begini Bu..” aku masih terbata. Aku menatap kepala pak Lurah ynag masih tertutup peci hitam. Aku masih belum bisa membayangkan kepala botaknya di elus oleh Maria.

“bilang aja, kalau bisa kan kami bantu” Pak Lurah menimpali. Kulihat Maria tersenyum.
“sebenarnya Maria lagi ngidam..”
“nah, kamu harus turutin dong..” bu lurah memotong.
“nah ngidamnya kali ini aneh banget”
“ya namanya juga ngidam, kalau ga aneh bukan ngidam namanya” Bu lurah lagi-lagi.
“tapi saya kurang berani bu” aku menatap Bu Lurah, sementara Maria hanya senyum-senyum.
“ya namanya juga calon ayah, harus berani dong”
Lalu aku menarik nafas dalam-dalam.
“Maria ingin pegang kepala Pak Lurah!” aku lega juga. Bu lurah segera ngeloyor ke dapur.
“saya mau buatkan teh dulu” ucapnya datar. Aku tidak kaget, wajar saja dia begitu. Yang membuat aku kaget adalah Pak Lurah yang tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tawanya membuat aku lega.

“hahahhahahahahha…… itu toh, yaudah nih pegang” Pak Lurah membuka peci hitamnya dan menundukkan kepalanya ke hadapan Maria. Lalu Maria mengelus kepala Pak Lurah sambil tersenyum, sebentar saja lalu mengembalikan tangannya ke posisi semula. Pak Lurah kembali memasang pecinya, namun tawanya masih belum berhenti berderai. Pak Lurah tampak tidak keberatan.

Aku yang jadi sungkan sendiri ketika tiap kali berpapasan dengan pak Lurah. Memang Maria ada-ada saja. Malam ini tepat jam 2 dini hari, di usia kehamilannya di bulan ke enam. Maria membangunkanku, katanya dia pengen sate padang. Aku malas sekali melayani permintaannya kali ini. Tapi Maria tetap merengek, huh. Tapi permintaan ini seribu kali jauh lebih baik dari pada harus memegang kepala Pak Lurah kemarin.

Aku bangun, mengambil Hand Phone, kunci mobil dan bergegas keluar. Padahal kemarin aku bekerja lembur dan butuh istirahat. Tapi karena permintaan Maria, aku harus mencari tukang Sate padang di pagi buta begini. Namun tidak mengapa juga, sebab tukang sate padang memang ramai di pagi-pagi seperti ini. Hp ku bergetar, sebuah nomor yang tak dikenal :
“Bang ini Tiara, saya sedang sakit. Mungkin umur saya tak akan lama lagi”.

Bersambung…..
Cerita sebelumnya :
Karma Itu Ada (#20) Penyakit Aneh

Cerita Selanjutnya baca disini

 

Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#21) Akh, Maria"