Karma Itu Ada (#23)
Aku mau pulang, mentari telah berpendar-pendaran menyirami wajah Tiara dari sebelah Barat. Aku ingin tenang dalam perjalanan.Aku mau pulang, biru-biru langit telah menunjukkan rajukannya. Tak lagi biru sempurna. Ada bercak-bercak hitam mengganggu satu-satu. Di samping Tiara, aku tak mampu banyak bicara. Hanya kujelaskan lewat tatapan mata saja. Lewat mata aku berkata.
“Aku mencintaimu”
“tak usah mencintaiku,tak ada untungnya bagimu” jawab matanya.
“cintaku bukan masalah untung rugi” cecar mataku lagi.
“tapi kau sudah beristri”
“kau juga istriku”
“tinggalkan aku!!”
“aku tak mungkin meninggalkanmu, lalu kenapa kau memberi kabar kepadaku tentang ini?”
Mata Tiara diam, ada jawab tertinggal di sana. Aku tak ingin menjemputnya. Itu hanya milik wanita. Aku tak berhak memaksanya untuk datang. Lalu aku memegang perutnya saja, merasakan kalau ada aku kecil di dalam sana. Hah, aku masih tidak membayangkan bisa jadi suami dari dua istri yang berbeda.
Sejumlah uang aku letakkan di atas tempat tidur Tiara. Aku rasa uang itu sudah lebih dari cukup untuk keperluannya. Aku juga tak usah memikirkan lagi apa memang hanya itu yang diperlukannya. Aku harus pulang. Maria bisa saja menaruh curiga padaku.
Perjalanan tak menuntutku untuk tergesa-gesa. Aku harus memutar otak kembali, bagaimana caranya agar Tiara bisa sembuh dengan segera dan kelak dia bisa kuperistri dengan sah.
Dengan sangat perlahan aku masuk ke dalam rumah, aku yakin perawat yang menjaga Maria belum pulang. Saat berpapasan pun, aku menyilangkan jari telunjukku di bibirku agar dia tidak menyapaku. Aku tak ingin terdengar Maria. Aku ingin mandi terlebih dahulu untuk menyegarkan badan dan nanti aku baru bisa mengobrol dengan Maria.
Namun sebelum masuk ke kamar mandi sebuah suara roda ku dengar mendekat.
“Tumben tepat waktu pulang dari kantor bang?”
Ternyata Maria yang datang.
“iya. Tadi pagi kerjaannya cepat abang kelarkan”
“ooh…” Maria tersenyum, senyumnya sinis. Akh itu bukan senyum, itu cibiran.
“sejak kapan Abang pulang pergi ke Huesca?”
Aku menelan ludah. Seketika tenggorokanku tersekat. Kerongkonganku kering. Aku tak jadi ke kamar mandi. Aku segera mengambil segelas air dan meminumnya sampai habis.
“baru kali ini”jawabku.
“lantas kenapa mesti berbohong?, siapa yang abang temui disana?”
“hmmm..ada teman”
“ooh.. jadi Tiara itu teman tho?”
Keringat dingin mengucur satu persatu dari keningku. Aku gelagapan. Dari mana Maria tahu ini semua. Apa Doddy yang memberitahukannya?. Aku tak lagi berani memandangi mata Maria, aku hanya memandangi perutnya yang berisi anakku. Perut itu semakin membesar.
“iya, teman” kataku sedikit terbata.
“bagus deh kalau cuma teman, tapi lain kali abang tak usah berbohong kalau hanya untuk menolong seorang teman. Maaf, saya memang suka cemburu, tapi kalau memang untuk menolong orang lain, bagaimana mungkin saya bisa marah. Justru saya bangga kalau suami saya ternyata seorang penolong” Maria tersenyum. Direntangkan tangannya, dia ingin aku memeluknya. Aku mendekat dan memeluknya. Padahal wajahku masih pias. Tak percaya dengan kelebat kejadian yang baru menerpaku. Aku berusaha agar dadaku tidak tersentuh oleh Maria, sebab di dadaku kini tengah ada gemuruh yang besar dan degup yang berlomba. Ku kecup saja keningnya. Tak terlalu kuat, sebab bibirku juga dingin.
Tanpa menatap Maria lagi, aku beranjak ke kamar mandi. Aku ingin benar-benar melepas kepenatan dan kegundahan ini. Aku masih penasaran tentang dari mana Maria tahu kalau aku pergi ke Huesca dan bertemu Tiara. Atau lebih spesifiknya, dari mana dia tahu? Tak mungkin Doddy segegabah itu dan langsung memberi tahu Maria tentang percintaanku dengan Tiara.
Maria semakin mesra saja, dia langsung mencarikan pakaianku setelah aku selesai mandi. Bahkan dia tak berhenti-berhenti bercerita tentang kehamilannya. Tak terlihat senyumnya yang baru saja mencibirku dan membuat aku setengah mati ketakutan. Aduh, Maria. Kenapa kau begitu pandai menyimpan segalanya?
bersambung…
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#23)"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta