Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#24)

Karma Itu Ada (#24)

Aku mondar mandir tak tentu arah. Sesekali aku menoleh jam berwarna keperakan yang melingkar di tangan kiriku. Jam itu adalah jam tangan yang dulu diberikan Tiara padaku. Meski aku tahu  harganya tidak mahal, tapi pemberian dari Tiara sama seperti anugrah untukku. Jam tangan ini juga yang semakin membuat aku sulit melupakan Tiara. Padahal aku bisa saja menggantinya dengan jam tangan yang baru dan bahkan lebih mahal. Tapi keyakinan itu tak pernah benar-benar kulakukan.


Sesekali tangan kiri dan kananku aku masukkan ke kantung celana panjangku. Kadang aku memandangi teras rumah sakit ini, kadang memandangi asbes putih di atas kepalaku sambil mendongak. Kesimpulannya, aku tak tenang. Pasalnya, di dalam ruangan itu ada Maria yang tengah berjuang mempertaruhkan nyawanya demi kelahiran anak kami yang pertama.

Ini perasaan yang sulit digambarkan, satu sisi aku sedang berusaha meledakkan tawa karena berhasil menjadi ayah, namun di sisi lain aku bisa saja nanti menumpahkan air mata bila saja Maria kalah dalam pertaruhannya. Oh, Tuhan! kuatkan hambamu ini. Tak terasa memang kalau sudah hampir setahun aku berumah tangga bersama Maria. Wanita yang dulu membeli aku.

Aneh, lama sekali dokter yang sedang melaksanakan tugasnya itu keluar dari ruang persalinan.Apa mereka tak tahu kalau aku sungguh sangat ingin tahu kabar tentang anak dan istriku. Keringatku mengalir deras. Dokter memang mengatakan kalau Maria sulit untuk melahirkan dengan normal, hingga harus diadakan cesar. Menurutku sih yang mana saja tidak masalah, yang penting adalah bagaimana agar kedua buah hatiku itu selamat. Malah  Maria yang protes, katanya dengan melahirkan secara Cesar, ia merasa tidak menjadi ibu yang utuh dan sempurna. Akh, wanita ada-ada saja.

Suara tangisan bayi dari dalam seperti bedug buka puasa bagiku. Ada kelegaan. Mataku berbinar bahagia. Dari arah gerbang rumah sakit kulihat kedua mertuaku datang. Wajah mereka menggambarkan kecemasan seperti wajahku tadi. Kedatangan mereka membuat aku menunda niatku untuk masuk ke ruang persalinan. Tampak kedua orang tua Maria begitu tergesa-gesa menyusuri selasar rumah sakit yang tidak begitu lebar.

"Bagaimana keadaan Maria sekarang?" Pak Surya bertanya padaku setelah aku menyalam dan mencium tangannya. Tangannya dingin. Sementara Ibu Maria hanya menatapku saja, tapi aku lihat dari sorot matanya kalau dia memiliki pertanyaan yang sama dengan suaminya.

"Saya belum tahu pastinya pak" raut cemas di wajah mereka, nyaris sama dengan raut cemas yang kupunya. Kadang aku bertanya dalam hati, siapa sih yang paling takut kehilangan Maria, aku atau mereka? tapi yang pasti aku tentu saja tidak siap kehilangan Maria. Dia nafasku.

**

Aku mengecup kening Maria, ia masih pucat. Wajah kedua mertuaku pun terlihat sumringah sekali. Sedari tadi mereka terus menepuk-nepuk punggungku dan mengelu-elukanku. Sampai punggungku sakit karena terus ditepuk. Tapi tidak apalah, setidaknya aku telah melakukan tanggung jawabku sesuai peran seorang suami yang bertanggung jawab. 

Tak pernah aku jemu memandangi wajah bayi mungilku. Aku telah sempurna menjadi lelaki. Aku tertawa terbahak-bahak dalam hati. Seperti seorang penakluk dunia. Seperti penemu benua baru yang belum terjamah. Aku membayangkan diriku tengah berdiri di atas sebuah tebing dan mengumandangkan kegagahanku. 

Melihat wajah bayiku, seperti melihat wajahku sendiri.Rambutnya hitam seperti rambut Maria, hidungnya bangir seperti hidungku. Alisnya juga tebal seperti alisku. Bibirnya tipis seperti Maria. Ia akan menjadi gadis primadona kelak. Sebab ia cantik bagai bidadari mungil yang di utus ke permukaan bumi ini. Tapi aku tak akan mau kalau yang memperebutkannya adalah para pria biasa kelak. Dia harus dapat pasangan sepadan, yang bisa mengimbangi kecantikannya. Akh, anakku masih bayi, tapi aku sudah membayangkan kalau dia akan jadi kembang rupawan.

Bapak dan Ibuku pun tak absen, mereka juga menyatakan kebahagiaannya yang tak terhingga. Bapak dan Ibuku menginap di rumah kami satu malam. Seharian mereka bercengkrama dan bercanda. Semua terlihat bahagia. Mertuaku malah memberikan sejumlah uang lagi ketika kedua orang tuaku akan pulang ke kampung. Memang bapak menolak, tapi mertuaku juga tak kalah mendesak. "Sebagai uang terima kasih" alasannya. "Kita ini besan" tolak bapak. Tapi akhirnya uang itu masuk ke kantong bapak juga, djejalkan oleh Pak Surya. 

Sepeninggal bapak dan ibu, aku makin perhatian pada Maria. Anakku juga terus menjadi pusat perhatianku. Aku suka kalau dia menangis di tengah malam. Aku suka kalau dia ngompol dan aku harus menggantinya sendiri. Ada kenikmatan tersendiri. Maria bilang kalau aku seharusnya membiarkan perawatnya saja yang mengasuh putri kami, tapi aku berkeras. Ketika aku masih sanggup, maka aku akan melakukannya. Biar dia tahu kalau aku ayahnya, begitu ucapku. Dan Maria hanya tersenyum saja.

Pagi itu, Maria juga telah pulih dan bisa beraktifitas seperti biasa. Aku akan berangkat bekerja. Putri kami sedang ada di pangkuannya. Aku mengecup kening Maria dengan mesra. Lalu aku meraih putri kami untuk aku gendong sebentar.

Aku tertegun, sebuah tahi lalat yang berwarna hitam pekat dengan ukuran tidak begitu besar tercetak tegas di sebelah dalam, peregelangan tangan kanan anakku. Letak tahi lala itu hampir menyentuh telapak tangannya. Berada di sebelah urat nadinya. Aku bukan peramal, tapi aku pernah mendengar cerita tidak enak tentang tanda itu. Orang pintar bilang, seorang anak yang memiliki tahi lalat di lengan kanan, kan menanggung sebuah tanggung jawab yang besar kelak.

Dongeng  apa lagi ini?


bersambung

cerita sebelumnya baca disini
cerita Selanjutnya baca disini
Open Comments

2 komentar untuk "Karma Itu Ada (#24)"

linda 21 April 2011 pukul 12.04 Hapus Komentar
masih ada lanjutannya kah? masih penasaran
blog dalam blog 8 Mei 2011 pukul 11.41 Hapus Komentar
ditunggu aja ya..
:)

kebetulan lagi sibuk dikit nih, jadi ga bisa nerusin