Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kotak Infak yang Gemboknya Dibalut Koran Bekas

Kotak Infak yang Gemboknya Dibalut Koran Bekas


Belakangan aku rada malas datang cepat-cepat ke masjid untuk sholat jumat. Maaf, bukannya aku malas. Tapi kakiku tidak cukup tahan untuk terlalu lama duduk bersila. Kakiku cepat kesemutan. Kalau udah kesemutan pasti tidak bisa lagi berdiri. Memulihkan kaki yang kesemutan itupun butuh waktu lebih dari 5 menit. Hingga pada suatu ketika aku merasa malu sekali karena tidak bisa berdiri padahal Iqamat sudah selesai.

Seperti siang tadi, maka aku memutuskan untuk masuk masjid saat khutbah akan dimulai saja. Aku tidak perlu takut tak kebagian tempat. Di daerahku ini, mesjid cuma satu. Ukurannya juga tidak besar, paling kuat bisa menampung jamaah 150 orang. Mesjid kami juga dikelilingi oleh perumahan masyarakat non muslim, pada umumnya mereka kristen. Malah sekitar 20 meter dari masjid itu ada sebuah gereja besar. Memang sih, di Sumatera Utara, jamak sekali terlihat masjid berdampingan dengan gereja. Bahkan di suatu daerah di dekat Gunung Sibayak, dekat Gunung Sinabung yang baru meletus itu, ada sebuah masjid yang temboknya menyatu dengan gereja. Duh harmonsinya, indahnya sebuah toleransi. Sebuah rasa persaudaraan yang dibuktikan lewat aktualisasi keseharian.

Khutbah akan dimulai, aku masuk. Sebuah kotak infak berjalan di depanku, di oper dari satu jamaah ke jamaah lainnya. Menurut teman-teman kristen, biasa mereka menyebutnya perpuluhan (CMIIW). Yang unik dari kotak infak itu adalah, gemboknya. Karena kotak infak tersebut terbuat dari plat seng, jadi gembok yang mengayun-ngayun di kotak infak itu menghasilkan suara ting tung ting tung setiap kali kotak itu di oper. Entah dari mana pihak kenaziran masjid belakangan punya ide untuk membungkus gemboknya dengan kertas koran agar benturan gembok dengan kotak infak itu tidak terdengar lagi.

Itu hanya sebuah kotak infak yang gemboknya dibungkus dengan kertas koran. Tapi maknanya lebih dalam bagiku. Sebuah kotak kecil itu seolah mengatakan, beramallah meski tak ada gemanya. Bebuat baiklah ke sesama tanpa mengumbar-umbarnya kepada orang lain. Bahkan, kotak kecil itu seolah mengatakan, berusahalah agar perbuatan baikmu tidak diketahui oleh orang lain. Berusaha redam kesombongan dan koar-koar yang tidak perlu.

Membaca kompas barusan, ada berita tentang Mahasiswa Makassar yang menganiaya polisi. Dimana sih letak pikiran dari kaum-kaum intelektual itu? Apakah yang mereka dapat dari menganiaya aparat negara? Selama ini mungkin aku adalah mahasiswa yang termasuk antipati pada polisi setiap ada demo, tapi tak pernah ada niat untuk berbuat anarki. Para polisi itu juga menjalankan tugas, mereka punya keluarga dan sanak saudara yang mengasihi dan mencintainya.

Entah darimana pula berawalnya Mahasiswa Makassar belakangan menjadi mahasiswa yang kerap masuk berita sebagai kelompok mahasiswa paling anarkis di Indonesia. Apa ada yang salah dengan sistem pendidikan di sana?. Seharusnya, betapa besarpun luapan emosi. Betapa besarpun kebenaran yang mereka punya. Tak seharusnya sampai menganiaya polisi. Inilah pesan dari sebuah kotak infak yang terbalut kertas koran bekas. Menunjukkan eksistensi lewat perbuatan brutal, membuat masyarakat semakin gerah dengan mahasiswa.

Secara umum sebenarnya masyarakat Indonesia mengatakan kalau karakter orang Sumatera Utara atau Medan lah yang sebenarnya keras. Tapi kejadian-kejadian semacam penganiayaan aparat polisi itu, masih jarang terdengar di sini. Maaf, bukan bermaksud membanggakan kedaerahan. Tapi ada satu faktor yang menurut saya kenapa Medan masih sedikit terjaga keamanannya, yakni faktor ketokohan orang tua.

Ya, bagi orang Batak, orang tua adalah manusia yang sangat dihormati. Jadi, jikalau terjadi sebuah kerusuhan lantas seorang yang dihormati maju ke tengah dan berkata :  “apa tak kalian hormati lagi aku?”. Maka seketika, pemuda-pemuda yang tadinya beringas akan melunak dan meluluh. Perkelahian antar pemuda sering kali berakhir hanya dengan ucapan oleh orang tua seperti itu.

Makassar punya tokoh besar, yakni M.Jusuf Kalla. Seharusnya, ketokohan JK cukuplah untuk membuat warganya malu berbuat anarkis dan melanggar hukum. Adalah suatu mimpi besar bila kita meminta reinkarnasi Sultan Hasanunddin kembali, tapi bisa saja ketokohannya bisa lahir dari pemuda-pemuda masa kini. Harusnya ada seorang pemimpin yang benar-benar disegani oleh para mahasiswa untuk tidak lagi bertindak brutal. Apakah pemimpin yang disegani, yang berasal dari putra daerah Makassar hanya sebuah mimpi? Insya Allah tidak.

Bila itu tercapai, maka bukan hanya toleran terhadap orang yang berbeda pendapat, tapi toleran terhadap orang yang berbeda keyakinan sekalipun akan terjaga. Keharmonisan bermasyarakat yang plural akan semakin tumbuh dan berkembang.


__Ada satu yang lucu ketika mahasiswa tawuran dan saling melempar batu. Hal yang paling menyedihkan ialah ketika objek yang mereka gunakan adalah batu. Sebuah benda yang tak memiliki sentuhan teknologi sedikitpun___
Open Comments

Posting Komentar untuk "Kotak Infak yang Gemboknya Dibalut Koran Bekas"