Karma Itu Ada (#22)
Begitulah sebuah pesan yang sebenarnya terlalu singkat untuk aku mengerti. Aku serasa melayang dan terbang, sejenak aku lupa kalau aku tengah berada di bumi. Ya memang begitu sebab kabut tentu tengah menggelayuti nalarku. Kuhentikan mobil. Dan entah mengapa seketika itu juga aku berubah menjadi begitu peragu. Antara Tiara dan Maria, dua untai nafas yang kini tengah menanti oksigen dariku.
Aku tahu,Tiara bisa saja tidak mengharapkan kehadiranku. Dia mungkin hanya ingin aku tahu kalau dia kini tengah menanti maut. Aku juga sadar kalau Maria tidak mungkin merajuk andai saja aku tak memenuhi permintaannya kali ini. Tapi aku paham Tiara, aku tahu betapa berharganya aku di matanya. Jadi sangat masuk akal jika kehadiranku bisa saja menyelamatkannya. Aku meratap sendiri ketika aku teringat kalau Maria adalah wanita yang tengah mengandung calon anakku kini.
Kutepikan mobilku perlahan dan tanpa malu aku menangis. Aku tidak sedang berduka, atas dasar apa pula aku berduka? Aku hanya tak tahan sebab dadaku terlalu sesak oleh pertempuran hati yang makin sering kualami.
Muncul juga tanyaku tentang Tiara belakangan ini. Bagaimana keadaannya? Kenapa dia tak pernah menghubungi aku dan dia hamil atau tidak. Kabar itu tak pernah aku tahu. Parahnya, Tiara tak pernah memberitahu.
Hingga pesan ini sampai, rasa bersalah mendatangi aku. Dengan tergesa-gesa aku mencari pedagang sate dan memesan satu porsi. Tancap gas menuju rumah.
“Mau kemana bang?” Maria memergoki aku tengah selesai mandi padahal jam masih menunjukkan pukul 5.30 pagi buta.
“udah dimakan satenya sayang?” aku mencoba memanggilnya sayang dan dengan nada suara selembut mungkin.
“sudah bang, satenya enak banget” Senyum Maria mengambang, aku terus bergegas memakai pakaian kerja.
“Mau kemana bang, ini kan masih pagi?”
“iya sayang,semalam ada kerjaan yang belum kelar. Hari ini deadlinenya, jadi abang harus ke kantor pagi-pagi”aku mengulum senyum dan menyajikannya pada Maria. Mudah-mudahan dia suka.
“yaudah, jangan lupa sarapan dulu di kantin nanti ya bang, jangan sampai sakit kayak hari itu lagi. Ntar kalau sakit siapa yang jaga istrimu ini” celoteh Maria yang tak akan pernah bisa kugores lewat luka. Aku tersenyum saja, dan aku rasa itu telah menjawab segalanya. Kucium pipi dan keningya lalu pamit.
Perjalanan ini terasa teramat panjang bagiku. Debaran yang menyertainya juga tidak main-main. Nomor ponsel yang tadi pagi masuk ke Hp ku tidak aktif lagi. Akh itu tidak penting, terpenting sekarang adalah aku harus bertemu Tiara. Pohon-pohon pinus menumpangkan bayangannya di body mobilku. Berlarian satu persatu ke belakang. Pertanda Huesca beberapa menit lagi akan kudapati.
Akh Tiara, sebenarnya apa yang sedang terjadi padamu? Mengapa kau tidak pernah memberikan kabarmu dan mungkin kabar calon anak kita. Kuparkir mobil ditempat biasa. Karena bukan hari libur, pengunjung Huesca pun tidak begitu ramai. Lagipula ini masih jam 7 pagi. Siapa pula yang datang pagi buta kemari. Setengah berlari aku masuk ke kafe Huesca.
“mbak, Tiara sedang sakit ya? Boleh ketemu dia ga?” tanyaku pada seorang wanita yang tampaknya tengah beres-beres mengatur kafe itu.
“Tiara ga ada di sini Mas…” sahutnya seperti tak peduli sambil berlalu. Aku mengikutinya dari belakang.
“jadi Tiara dimana Mbak?”
“udah dua minggu di rumah sakit”
“rumah sakit mana mbak?” aku makin tidak sabar dan mulai jengkel kepada perempuan satu ini.
“rumah sakit Permata Hati. Cepetan susul sana. Kasihan dia”
“trima kasih ya Mbak” aku bergegas membalikkan badan. Nada bicara wanita itu yang akhirnya melembut membuat aku semakin tak berdaya. Ku putar lagi mobilku ke Rumah Sakit Permata Hati, sebuah rumah sakit yang sebenarnya tadi telah aku lewati ketika menuju kemari.
Tak sulit mencari kamar Tiara. Sebab yang mereka sebut rumah sakit hanyalah sebuah rumah sakit dengan ukuran kecil. Hanya sebuah bangunan seperti ruko berlantai dua. Rumah sakit ini juga baru dibangun, belum genap dua tahun. Tampak dari pamfletnya yang kecil dan warnanya masih jelas. Sementara di depannya terdapat sebuah banner berukuran 1×4 meter bertuliskan nama rumah sakit, alamat dan no teleponnya.
Tak sulit mencari kamar Tiara.Yang sulit adalah mengatur detak jantungku ketika nanti bertemu dengannya. Aku tak tahu apa yang mesti aku katakan. Seorang suster mengantarkanku, aku mengiringinya dari belakang. Aku memang merindukan Tiara. Tapi aku tidak bisa melangkah secepat itu, suster. Sang suster tetap saja melangkah dengan sedikit promosi tentang rumah sakit itu. Tampak mereka berusaha ramah, mungkin dalam rangka membangun image dulu.
“ini kamarnya Pak, Tiara ada di dalam” suster tersebut mempersialakanku masuk, dia sendiri balik kanan dan pulang ke postnya. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Mungkin hanya aku yang tahu betapa langkah dan sepatuku terasa begitu berat. Aku tak tahu kenapa? Mungkin aku takut, akh itu tak beralasan. Yang terasa ialah aku begitu malu melihat keadaan orang yang kusayangi. Apalah artinya aku hidup bahagia sementara orang yang kucintai merana dan tersiksa. Muncul perasaan menyesal, seharusnya dulu aku tegas saja melepasnya. Tapi semua terlambat, aku telah masuk gelanggang tarung. Hanya pemenang yang bisa keluar hidup-hidup.
Dari dalam kudengar suara orang berbincang, sedikit berbisik. Rumah sakit ini memang hening, mungkin pasiennya juga tidak begitu banyak. Perlahan bincang dari dalam itu sedikit mengeras, melembut lagi, lalu ada isak tangis, tangis kecil saja. Sebuah langkah kasar dan cepat datang menuju tempat aku yang masih berdiri dibalik rongga pintu tanpa berani mengintip sekalipun. Malahan aku sedikit merunduk.
Saat aku mendongakkan kepala,ternyata orang yang didepanku adalah teman Tiara. Wanita yang dulu pertama kali menjadi temanku berbincang mengenai Tiara di Huesca. Entah siapa yang memberitahu dia kedatanganku, yang pasti aku tak berani beradu tatap dengannya.
“masuk saja Mas, cuma kami berdua di dalam” ucapnya.
“Tiara kenapa Mbak? Dia sakit apa?”
“Tiara bersikeras mempertahankan kehamilannya, dokter bilang kandungannya tak kuat. Dia tetap memaksa padahal itu bisa membahayakan keselamatannya. Saya sudah ingatkan dia, tapi dia memang wanita yang keras kepala” wanita itu pergi, seraya memberiku kode untuk masuk ke ruangan Tiara.
Kuteguhkan hati. Aku masuk. Tiara membelakangi pintu, aku tak bisa menatap wajahnya langsung. Tapi aku merasa dia semakin kurus, tulang lengannya terlihat jelas. Tak terbalut kulit berlemak lagi seperti dulu.
bersambung
bersambung
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#22)"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta