Kasihan Babi Itu
Piglet mungkin karakter babi terlucu yang pernah ada. Tokoh kartun yang satu ini membuat persepsi orang tentang babi sedikit berubah. Sahabat Winnie The Pooh ini digambarkan sebagai binatang cute dan menggemaskan. Tingkah polahnya saat mengatasi ketakutan-ketakutan dan kecemasan di dalam animasi, sangat menggemaskan. Apalagi paduan warna pink di tubuhnya membuat seakan ia bukanlah seekor babi.
Tapi itu hanya animasi. Di dalam dunia nyata, babi masih mendapat tempat yang kurang baik dibandingkan dengan hewan yang lain, dengan anjing sekalipun. Bagi kalangan muslim sendiri, jelas nyata dinyatakan bahwa memakan daging babi itu haram. Termasuk segala unsurnya, terkecuali ada sesuatu yang urgent. Tapi kali ini saya tidak ingin membahas masalah hukum agama atau apapun yang berkaitan dengan itu. Saya hanya ingin membahas masalah penamaan babi. Siapa sih orang pertama yang menamai hewan bermuncung panjang itu sebagai “babi”?
Sebenarnya, bukan hanya untuk golongan orang yang mengharamkan babi bahwa kata “babi” itu kasar. Bagi mereka yang boleh mengkonsumsinya pun masih terasa kasar. Contohnya, banyak rumah makan-rumah makan dan penyedia jual beli daging babi yang enggan menuliskan kata “babi” di pamflet atau iklan depan rumah makan mereka. Sebagai gantinya dibuatlah B2 untuk babi dan B1 untuk anjing. Meski, ada beberapa rumah makan yang tetap menuliskan kata “babi” di depan tempat usahanya. Tapi itu hanya segelintir.
Entah mengapa hal itu bisa terjadi. Contoh lain dari keibaan saya melihat babi ialah dari segi kata-kata kotor. Kenapa menyumpahi seseorang mesti dengan kata “babi”? Kan masih ada kata-kata lainnya seperti ayam, cicak, kucing, harimau dll. Tapi tetap saja, disebut sebagai babi tetap memiliki “nilai lebih” atau lebih kasar dari kata yang lainnya. Pun, kata kasar itu tidak hanya berlaku bagi orang yang tidak mengkonsumsi daging babi, tapi juga bagi mereka yang mengkonsumsinya. Kasihan benar ya babi itu.
Di kabupaten tempat saya tinggal, ada sebuah desa yang dinamai “Si Babi”. Dan itu bukan ejekan, itu memang nama desa mereka. Setiap pulang kampung, saya pasti melewati desa itu. Konon, katanya dulu di kampung itu banyak sekali babi. Hingga dinamai Si Babi. Anehnya, petugas di terminal tak pernah meneriakkan “Babi, Babi, Babi..!”, bagi mereka yang memang bertujuan kesana. Sebelas duabelas dengan kernet di dalam bus. Meski Si Babi telah tercapai, mereka tak pernah mengatakan “Babi turun, Babi turun”. Mereka hanya meneriakkan kata-kata yang lain selain kata babi.
Tentu berbeda dengan nama-nama kampung yang lain, semisal Tiga Lingga, Lingga Raja, Lingga Tengah (nama-nama desa di kampung saya). Untuk nama-nama kampung itu para kernet tak segan meneriakkan namanya jika tujuan itu telah tercapai. “Lingga, Lingga, Lingga,. ” kata mereka pertanda kampung Lingga telah tercapai.
Kembali ke Babi di atas. Saya ingin mengusulkan, hendaknya kita mencari satu kata pengganti untuk ditabalkan ke hewan tersebut. Mungkin nama “babi” terasa begitu kasar baginya. Hingga penyebutan namanya serasa menjadi hina. Hina? ya! bayangin kalau anak anda sedang merajuk dan mengatakan “beruang, serigala, bla.. bla..”, anda biasanya tidak marah. Coba anak anda mengatakan “babi !”? Bagaimana reaksi anda. Ini hanya satu penekanan dan pendukung yang saya gunakan untuk mencari pengganti nama babi tadi. Agar derajat hewan itu tidak luntur dan tergerus terus-menerus.
Harapannya nanti, dibenak kita babi adalah hewan seimut piglet.
Ada yang punya usul?
Gambar dari sini
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Kasihan Babi Itu"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta