Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#1)

Karma Itu Ada (#1)

fotosearch.com
Pinangan itu akan segera datang. Aku masih menunggu disudut kamar. Kupandangi adikku yang tampak pucat tak bernyali. Ia duduk di lantai. Aku, dengan gigi mengatup tetap menerornya lewat sorot mataku yang tajam. Iya. Aku masih mendakwanya. Dari atap rumah suara cakar-cakar ayam mencengkram seng membuat gigiku sakit. Ayam sialan. Mengapa pula harus bermain sampai ke atap. Kadang-kadang hening, adikku masih tak berani memandang mataku. Ia masih tepekur menatapi lantai yang telah bolong disana sini karena terkelupas plasternya.

Pinangan itu sebentar lagi pasti akan datang. Dan aku masih tak mengerti kenapa harus aku yang menjadi korban atas semua ini. Bapak dan ibu masih di luar kamar. Mereka ada di ruang tamu. Duduk gelisah menanti sang besan membawa menantu. Terkadang bapak berdiri, terkadang ia duduk. Begitu juga ibu. Sesekali ia menatap ke kamarku, sesekali ia menatap keluar. Terkadang ibu juga duduk merapat ke ayah seakan minta ditenangkan dari kegelisahan. Bagaimana mungkin, bapak saja masih kelihatan pasi. Untung bapak masih bisa meluapkan kecut hatinya ke kretek yang terus berganti di antara jemarinya.

Seperti aku, kakakku yang sedang menggendong bayinya, kelihatan geram. Sekalipun dia tak menyangka bahwa akan ada peristiwa se memalukan ini di keluarganya. Memang kakakku sangat menyayangiku. Dari kecil kami akrab. Tapi ia tak pernah menunjukkan kasih rasa pilih kasih diantara aku dan adikku yang sedang menekuri lantai ini. Bayinya yang rewel pun tak diperdulikannya lagi. Hanya digoyang-goyangkannya badannya untuk membuai keponakanku itu. Tak seperti orang yang akan menerima pinangan, kakakku hanya bersolek ala kadarnya. Tak memakai alas bedak, tak memakai celak, eye shadow. Hanya bedak tabur ia pupur ke pipinya. Untuk menunjukkan kalau ia memang tak sedang enak hati, dia hanya bersungut-sungut sendiri. Semalaman ia memarahi adikku.

Tadi malam bapak, ibu dan kakakku terus mengeluarkan amarahnya pada adikku ini sambil membesarkan hatiku. Mereka juga memelukku tanda cinta mereka yang teramat dalam. Iparku, suami dari kakakku juga turut menunjukkan sayangnya padaku. Mereka mengucapkan terimakasih yang terbesar bagiku karena telah membantu nama baik keluarga kami. Sementara adikku terus diam terpaku. Sebenarnya aku juga merasa kasihan padanya. Aku takut dia akan menjadi gila karena dihantui rasa bersalah. Tapi karena aku yang harus menjadi korban atas dosa yang dilakukannya maka rasa kasihan itu sedikit-sedikitu pupus juga. Aku benci adikku.

Memang tidak sepantasnya aku membenci adikku ini, sebagai adik, harusnya dia menghormati aku dan aku harusnya menyayangi dia. Tapi kecerobohannya telah membuat aku menjadi sesajen yang empuk. Layaknya kerbau yang dipersembahkan untuk sang dewata.

“Mardi!” Bapak masuk ke kamar memanggilku. Melihat kedatangan bapak, adikku makin menggigil. Waktu seakan berpacu dengan keringatnya yang menetes deras. Aku sebenarnya tahu. Keringatnya itu adalah air mata dalam bentuk lain. Sebagai lelaki dia sadar, tangis tak akan membayar apa-apa.
Tangis tak akan pernah mampu membuat masa lalu terulang. Tangis juga tak bisa mengobati apa-apa. Tangis tak bisa menghasilkan uang. Deret-deret air mata yang berlomba mendekati puncak hidung kadang memang membuat orang berbelas kasih. Tapi belas kasih saja juga tak cukup. Adikku dan keluargaku butuh lebih dari sekedar belas kasih. Parahnya, di kampung ini tak ada satu keluargapun yang sudi dibelaskasihani. Semua ini tentang harga diri. Dibelaskasihani adalah titik nadir sebuah harga diri.

Iparku sesekali keluar masuk gang. Memastikan keluarga calon besan bapakku tidak tersesat. Sebab rumah kami terdapat di gang sempit. Sulit dicari jika belum terbiasa masuk ke kampung ini.
Bapak mendekatiku, memeluk erat kepalaku. Didekapkannya kepalaku ke dadanya yang tak lagi bidang. Aku tak mau. Aku bisa menangis bila dibuat begini. Tapi taku tak tega mengganggu haru bapak. Jadi kubiarkan saja dia larut. Ku tahan agar aku tak melinang. Kasur berderit menahan isak bapak. Aku tak tahu kalau sebenarnya bapak se melankolik ini. Selama ini kami anggota keluarganya, mengenal pribadi bapak sebagai orang yang tegar dan pantang menangis. Tapi kali ini dia menitipkan isak di kepalaku. Pertanda batas ketegarannya telah terlewati. Tanda kalau puncak kesabarannya telah terengkuh.

“Mudah-mudahan kamu bahagia bersama istri kamu nanti ya Mar” Ucap bapak seperti berbisik. Aku ingin mengangguk, tapi dada bapak masih menindih kepalaku. Degup jantungnya kurasakan berpacu dengan waktu. Bapak berusaha menengadahkan kepalanya ke langit-langit kamar agar air matanya tak menimpa kepalaku. Sepertinya dia merasakan kepedihan yang teramat sangat.

Cerita Selanjutnya baca disini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#1)"