Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Huesca, Karma Itu Ada (#15)

Huesca, Karma Itu Ada (#15)

Ada perasaan lain ketika aku sampai di Huesca. Aku merasakan aroma cinta. Tiba-tiba saja pelukan Maria ingin ku lepas. Aku ingin menikmati kesendirian. Aku ingin terbang. Pepohonan yang rindang, taman bunga yang berisi aneka jenis bunga. Air mancur yang mengalir syahdu. Penginapan-penginapan yang eksotis.

Aku turun dari mobil. Setelah membantu Maria turun, aku hanya berdiri terpaku. Di sebelah kiriku ada danau buatan. Satu dua orang aku lihat memancing disana. Danau itu jernih sekali, lekuk-lekuk permukaan air menari seirama. Berurutan, kadang berkejaran kadang saling peluk. Kadang menghempas manja ke lekukan yang lebih kecil. Lalu lekukan-lekukan air yang lebih besar kadang meriak manja merangkulkan peluknya lalu sirna menjadi riak-riak kecil. Sinar mentari masih mendaratkan sinar lembutnya menerobos pepohonan. Memantul lewat dedaunan, membias ke permukaan danau. Bersalaman dengan riak-riak kecil tadi.


Di sebelah kananku ada taman bunga, di tengahnya ada air mancur yang tidak begitu besar. Bunga-bunga aneka warna dan jenis. Ada mawar, melati, anggrek sampai kamboja. Pohon kamboja itu seperti ratu yang dipagari oleh bidadari-bidadari keindahan. Kupu-kupu beterbangan hilik mudik. Kadang menukik. Tiupan angin tak pernah mampu mengoyak tipis sayapnya. Sayap yang terlalu genit menggelitik kelopak-kelopak bunga.

Dody bersama istrinya masih sibuk mengeluarkan barang-barang, makanan dan minuman dari mobil. Menggelar tikar di atas rumput. Aku tak sadar sejak kapan Maria ada disampingku, menumpangi khayalku. Maria memegang tanganku yang sejak tadi hanya kulipat di depan dadaku.

“pernah kemari sebelumnya sayang?” tanyaku pada Maria.

“Pernah sekali, tapi waktu remaja dulu” Maria mengecup punggung tanganku. Entah kenapa aku merasa seperti ingin sendiri dulu. Tanpa ada Maria disini. Bukannya aku mulai bosan dengannya, tapi aku ingin bercumbu dengan alam ini. Menyetubuhinya dengan kekuatan-kekuatanku hingga puncak orgasme.

Dody dan istrinya tampak telah selesai. Berdua mereka duduk di atas tikar sambil duduk berpelukan menghadap danau buatan tadi. Mesra sekali mereka. Ku dorong kursi roda Maria menuju gelaran tikar. Aku ingin menitipkannya sejenak. Aku ingin. Lalu aku menggendong Maria dan mendudukkannya di tikar. Dody yang tahu kedatangan kami langsung tahu diri dan melepas pelukannya dari bahu istrinya. Lucu dan iri juga melihat mereka. Seperti orang pacaran dan sedang kasmaran saja.

Dody mendekatiku dan mengajakku untuk mengobrol sambil berjalan, sementara istriku dan istri Dody kami tinggal.

“Dod, aku ingin memaki mu dan sekaligus memujimu”
“hehehe… silahkan, dua-duanya aku terima”

“pertama teri makasih udah bawa kami ke tempat ini, tapi sialan kamu, baru ngasih tahu aku sekarang… hahahhaha…. kalau tahu tempatnya enak gini, sering-sering aku kemari”
“apa juga aku bilang Mar, tempat ini sebenarnya punya sejarah yang kurang bagus” Ucap Dody.
“kurang bagus gimana?” aku jadi penasaran.

“kamu tahu nggak nama Huesca itu diambil dari mana?” Dody bertanya lalu kusambut dengan gelengan. Kemudian Dody meneruskan pertanyaan retorisnya.

“dulu ada sepasang kekasih tinggal disini. Si pria adalah penduduk asli desa ini dan kekasihnya yang bernama Huesca adalah turis sekaligus peneliti yang datang dari Spanyol. Huesca tertarik untuk meneliti jejak Nomensen di daerah ini. Namun percintaan mereka tak pernah mendapat restu dari orang tua si pria. Karena si pria tersebut ternyata telah dijodohkan dengan paribannya sendiri dari desa ini. Huesca sebenarnya sudah maklum dengan keadaan itu. Dia sudah banyak tahu budaya daerah Batak yang secara bersamaan dipelajarinya dengan penelitian jejak Nomensen. Namun si pria tak bisa terima. Untuk membuktikan cintanya maka dibelinyalah lahan seluas satu hektar ini dan menamainya Huesca, sesuai nama kekasihnya. Karena marah, orang tuan pria itu mengusir Huesca dari kampung itu. Penelitian serta cintanya gagal begitu saja.”

“karena kecewa akhirnya pria itu berjanji untuk tidak menikah seumur hidup dan hanya merawat lahan ini sepanjang hayatnya. Lahan itu akhirnya menjadi taman secantik ini. Sekitar dua puluh tahun yang lalu dia meninggal dan mewariskan tempat ini kepada sahabatnya yang juga mengalami nasib yang hampir sama dengannya. Bedanya, sahabatnya itu menikah dengan saudara jauhnya. Namun masih satu marga. Untungnya sahabatnya itu masih bisa hidup bersama hingga kini. Malangnya ialah mereka akhirnya dipisahkan dari silsilah keluarga dan hingga kini merekalah yang merawat tempat ini”

“pantesan ya” gumamku setelah menghela nafas panjang karena cerita itu seperti dongeng saja.
“pantesan gimana?”

bersambung………..

Cerita sebelumnya disini
Episode Berikutnya klik di sini
Open Comments

Posting Komentar untuk "Huesca, Karma Itu Ada (#15)"