Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kebusukan di Markas FIFA (Indonesia Pernah Jadi Korban)

Kebusukan di Markas FIFA (Indonesia Pernah Jadi Korban)

oleh :
MH. Samsul Hadi
Minggu, 19 April 2009.
Tanya (T): “Selamat sore, bisa bicara sebentar saja dengan Anda, Mr Regenass?”
Jawab (J): “Siapa Anda? Bagaimana Anda bisa tahu nomor telepon kamar ini?”
T: “Saya wartawan Indonesia, ingin bertanya dan menyampaikan hal penting terkait persoalan di PSSI…”
J: “Lihat, saya lagi ada tamu di kamar dan saya tidak tahu Anda. Saya tidak dapat berbicara dengan pers. Terima kasih!”

Klik. Terdengar suara telepon ditutup. Minggu sore itu, Thierry Regenass –Direktur Asosiasi Anggota dan Pengembangan FIFA– yang saya coba kontak lewat telepon kamar hotelnya di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, pun menghabiskan waktu hingga malam hari dengan santai. Di sela-sela acara jamuan makan malam, masih di hotel tersebut, sejumlah wartawan mencoba mendekatinya. Regenass tetap acuh tak acuh.
Baru keesokan harinya, hanya beberapa jam sebelum ia terbang ke Swiss –begitu setidaknya alibi yang disampaikan– ia bersedia buka mulut. Itu dia lakukan dalam jumpa pers bersama beberapa petinggi PSSI. “FIFA berjanji akan bekerja sama dengan PSSI dan Nurdin Halid agar sepak bola Indonesia menjadi lebih baik,” demikian beberapa kutipan kata-katanya yang saya rekam. Bla-bla-bla…, dan seterusnya hingga sesi tanya jawab dibuka:


T: “Mr Regenass, sekedar memberitahu Anda.. Ada dua versi dokumen Statuta PSSI yang berbeda dan beredar di kongres ini menyangkut masalah pasal kriminal anggota Komite Eksekutif. Bagaimana Anda dan FIFA menanggapi hal ini?”

J: “Masalah itu sudah selesai. Statuta ini sudah standar dan sama di seluruh anggota asosiasi…..”

www.pssi-football.com)
Direktur Asosiasi Anggota dan Pengembangan FIFA Thierry Regenass (kanan) saat hadir dalam Munaslub PSSI untuk meratifikasi Statuta PSSI di Ancol, Jakarta, 20 April 2009. (Foto: www.pssi-football.com) 

Pertanyaan tidak terjawab. Di meja depan, pejabat PSSI tersenyum penuh kemenangan. Salah staf PSSI mengedarkan salinan selembar surat dengan kop “FIFA” tertanggal Zurich, 6 Maret 2009 yang ditandatangani Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke dan tembusan pada Presiden AFC Mohammed bin Hammam dan Pejabat Pengembangan FIFA Windsor John. Isi surat itu: pengakuan FIFA atas kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI.

Ada satu kejanggalan, tetapi media tidak lagi semangat mengutak-atiknya setelah berbulan-bulan “bertarung” dengan PSSI. Kejanggalannya, surat pengakuan itu tertanggal 6 Maret 2009, berisi: “…we are pleased to inform you that FIFA can agree to allow PSSI’s current leadership to continue its work until the end of the present mandate which shall expire in the year 2011, provided that the FIFA-conform statutes are indeed ratified by the end of April 2009 (Kami gembira memberi tahu Anda bahwa FIFA sepakat menerima kepemimpinan PSSI saatini agar melanjutkan tugas hingga akhir mandat yang harus selesai tahun 2011, hanya jika statuta persetujuan FIFA benar-benar diratifikasi pada akhir April 2009).

Di mana kejanggalannya? Kongres PSSI, yang meratifikasi Statuta PSSI hasil persetujuan FIFA itu, baru digelar 19-20 April 2009. Namun, persetujuan FIFA –meski dengan syarat– telah diberikan tanggal 6 Maret. Dengan langkah tersebut, FIFA seperti memberi kuitansi kosong pada pengurus PSSI. Atau, mereka telah memberi skor kemenangan 3-0 ketika sebuah pertandingan belum digelar.

Satu kebohongan FIFA lain. Jauh-jauh hari, FIFA menegaskan, ratifikasi Statuta PSSI itu harus dibarengi pemilihan ulang Ketua Umum PSSI. Namun, hal itu mereka ingkari dengan memberi pengesahan dan mandat atas Nurdin Halid. “The AFC President. Mr Mohammed bin Hammam, informed us about his visit to the Football Association of Indonesia and the progress made into the different projects led by the Association (Presiden AFC, Mohammed bin Hammam, telah memberitahu kami soal kunjungannya ke PSSI dan soal kemajuan sejumlah proyek yang dilakukan PSSI).”

www.fifa.com)
Mohammed Bin Hammam, Presiden AFC (Foto: www.fifa.com)

Bin Hammam, Presiden AFC asal Qatar itu, datang ke Jakarta, 22 Februari 2009, beberapa bulan sebelum ia bertarung memperebutkan satu kursi di Komite Eksekutif FIFA. Misinya jelas, yakni ia sedang mencari dukungan dari PSSI. Setelah kunjungan itu, ia datang lagi ke Jakarta, mengadakan pertemuan di Hotel Mulia bersama sejumlah ketua asosiasi dan federasi di kawasan Asia Tenggara. PSSI, diwakili Nurdin Halid, paham betul cara memainkan kartu. Nurdin tegas menyatakan dukungan pada Hammam. Imbal baliknya, Hammam mengupayakan agar Nurdin tetap Ketua PSSI.

Saat voting penentuan anggota Komite Eksekutif FIFA dalam Kongres AFC di Kuala Lumpur, 8 Mei 2009, Bin Hammam terpilih setelah menang tipis 23-21 atas Sheikh Salman bin Ibrahim Al Khalifa (Bahrain). Nurdin puas, Bin Hammam juga senang. Keduanya sama-sama mencapai ambisinya. Win-win solution buat kedua, tetapi tidak bagi sepak bola Indonesia. Itulah salah satu skandal segitiga PSSI-AFC-FIFA yang tercatat dalam sejarah perjalanan sepak bola Indonesia.


* * *


Minggu, 17 Oktober 2010.
www.fifa.com)
Markas FIFA di Zurich, Swiss. Dari kantor inilah, denyut nadi sepak bola di seluruh dunia dikendalikan dan dimonitor. (Foto: www.fifa.com)
Markas FIFA di Zurich, Swiss, terguncang oleh laporan koran Inggris “The Sunday Times” berjudul “World Cup Votes for Sale” (Dijual, Voting Piala Dunia) edisi Minggu, 17 Oktober 2010. Reporter koran itu menyamar sebagai pelobi konsorsium perusahaan Amerika Serikat (AS) yang menginginkan agar AS bisa terpilih menjadi Piala Dunia (PD) 2018 dan bertemu dengan dua anggota Komite Eksekutif FIFA, Amos Adamu (Nigeria) dan Reynald Temarii (Tahiti).

Wawancara dengan penyamaran itu berlangsung bulan September lalu, saat AS belum menarik diri dari pencalonan tuan rumah PD 2018. Sekadar informasi, AS telah menarik diri dari pencalonan tuan rumah PD 2018 dan berkonsentrasi pada PD 2022, bersaing dengan empat wakil Asia (Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Qatar). Kini, tuan rumah PD 2018 pasti akan digelar di Eropa dan diperebutkan empat peserta, yakni Inggris, Rusia, Belanda-Belgia, dan Spanyol-Portugal.

Wawancara dengan Adamu dan Temarii direkam dengan kamera tersembunyi dan disiarkan “Sunday Times” di situs berbayarnya. Dalam rekaman itu, Adamu menjanjikan akan memberikan suaranya pada AS untuk PD 2018 jika mendapat imbalan uang 800.000 dollar AS, yang harus dibayarkan langsung padanya, untuk pembangunan empat lapangan bola artifisial di Nigeria. Sedang Temarii menjual suaranya seharga 2,3 juta dollar AS untuk mendanai akademi sepak bola di Selandia Baru.

Bukan itu saja, Temarii juga mengungkapkan, ada dua calon tuan rumah lainnya yang memberi iming-iming 10-12 juta dollar AS untuk satu suara dalam voting penentuan tuan rumah PD, 2 Desember mendatang. Pernyataan Adamu dan Temarii sulit dibantah. Ada rekamannya yang telah tersiar ke seluruh dunia. Presiden FIFA Sepp Blatter kebakaran jenggot dengan berita tersebut dan langsung mengirim surat terbuka pada 24 anggota Eksekutif FIFA, berisi tekadnya menggelar investigasi serius atas kasus itu.

www.fifa.com)
Presiden FIFA Sepp Blatter (Foto: www.fifa.com)

“Informasi dalam artikel itu telah memberi dampak negatif bagi FIFA dan proses pencalonan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022,” tulis Blatter dalam surat tersebut. Informasi tambahan, penentuan tuan rumah PD 2018 dan 2022 akan ditentukan lewat voting tertutup 24 anggota Komite Eksekutif FIFA.


* * *

Mh Samsul Hadi)
Buku karangan Andrew Jennings yang menghebohkan itu. Jennings, mantan wartawan "Sunday Times", telah di-black list FIFA sehingga tidak bisa mendapat akreditasi di seluruh kegiatan FIFA. (Foto: Mh Samsul Hadi)

Laporan “The Sunday Times” itu mengungkap kembali kebusukan-kebusukan yang terjadi di antara pejabat FIFA. Kebusukan seperti itu telah diurai dengan gamblang oleh wartawan investigatif Andrew Jeanings, yang juga pernah bekerja di “Sunday Times”, lewat buku terkenalnya, “Foul! The Secret World of FIFA: Bribes, Vote Riggings, and Ticket Scandals.” Dalam buku itu, praktek-praktek suap, korupsi, dan manipulasi selalu mengiringi perjalanan FIFA.

Pertanyaannya: jika praktek-praktek seperti itu lazim di tubuh FIFA –badan sepak bola tertinggi di dunia yang membawahi semua konfederasi, federasi, dan asosiasi di seluruh dunia–, bagaimana dengan lembaga serupa di level bawahnya, termasuk PSSI? Dari kebusukan-kebusukan di markas FIFA itu, kita bisa memahami: mengapa wajah PSSI seperti sekarang ini? Mungkin hanya satu yang membedakan FIFA dan PSSI. FIFA bisa membuat karya atau produk nyata yang –diakui atau tidak– berkualitas, seperti Piala Dunia misalnya. Lha, PSSI… apa produknya?*
Open Comments

Posting Komentar untuk "Kebusukan di Markas FIFA (Indonesia Pernah Jadi Korban)"