Karma Itu Ada (#25)
Kami menamainya Erfina. Erfina
berarti sahabat. Kami ingin anak kami menjadi sahabat bagi kami. Sahabat yang
selalu ada di setiap waktu kami membutuhkannya baik di saat susah ataupun
senang. Aku sendiri yang memilih nama itu. Aku tidak ingin terlalu menamainya
terlalu berat. Apalagi dengan trend orang tua sekarang yang menamai anak mereka
dengan huruf-huruf yang sulit dilafalkan oleh orang Indonesia. Kadang jadi
lucu, ketika seorang kakek harus melafalkan nama cucunya yang begitu sulit.
Makanya aku pilih nama yang sederhana saja. Erfina.
Erfina tumbuh dengan baik. Tingkah
polahnya lucu. Ia menjadi semacam pelengkap dan penyempurna kebahagiaan kami.
Ia menjadi semacam kepingan puzzle terakhir yang sengaja disisakan oleh yang
kuasa. Yang dikirim di hari-hari terindah keluarga kami.
Aku telah lupa dengan getirnya
pernikahan yang dulu kuanggap akan menjadi petaka. Nyatanya Tuhan memang maha
tahu apa yang terbaik buat hambanya. Selagi hambanya mau menerima dengan lapang
dada dan senantiasa bersyukur. Berprasangka baik pada setiap kehendak sang
khalik. Begitulah, dari manusia yang merasa paling malang sejagad raya, aku
menjadi merasa seperti manusia yang komplit kebahagiaannya.
Dengan kehadiran Erfina di
kehidupan kami, aku menjadi semakin mencintai Maria dan hampir tak lagi pernah
mengingat Tiara. Setidaknya aku merasa telah menuntaskan seluruh masa laluku
bersamanya. Kami tak lagi memiliki ikatan apapun. Tentang anak yang tengah
dikandungnya, itu sepenuhnya menjadi keputusannya untuk meneruskannya atau menggugurkannya.
Aku tidak kejam. Hanya saja aku harus berani memilih. Aku harus berani
memutuskan. Dan aku merasa kehidupanku adalah bersama Maria. Bukan Tiara. Tiara
hanyalah bagian dari masa lalu yang setiap orang pasti punya.
Aku menjadi kian semangat bekerja.
Fina dan Maria adalah motivasi terbesarku sekarang. Mereka seperti lentera yang
datang di malam-malam yang paling gelap. Tapi lentera itu perlahan-lahan
meredup dan sepertinya padam di malam itu ketika aku baru pulang dari kantor.
Sebuah hardikan keras dan lantang terdengar dari rumahku setelah mobil kuparkir
dengan sempurna.
“keluar kau sekarang, bajingan” aku
kenal betul suara itu. Suara itu adalah suara Pak Surya. Suara isak tangis
Maria terdengar dari dalam ketika langkahku semakin mendekati pintu.
“percayalah padaku pak, Mardi
bukanlah pria baik-baik”
Itu suara Gilang. Pasti ada apa-apa
di dalam.
“aku lebih mengenal Mardi daripada
kau. Kau hanyalah lelaki bangsat yang tak mampu memenuhi janji sendiri. Kau
telah mempermalukan keluarga kami. Jangan sesekali kulihat lagi kau di rumah
ini atau aku akan menghabisi nyawamu. Besok aku tak ingin lagi melihat wajahmu
di perusahaanku” Suara pak Surya semakin jelas ketika aku berada di mulut pintu
rumahku. Mendengar teriakan itu, Erfina, anakku pun terbangun dan menangis
keras.
Dengan langkah tergesa, Gilang
melangkah keluar. Matanya nanar menatap tepat ke bola mataku. Ada amarah,
dendam dan benci di dalamnya. Dengan mendengus ia pergi. Aku hanya menatapnya
berlalu tanpa berniat mempertanyakan apa yang sedang terjadi.
Seisi rumah bungkam. Aku tahu
luncuran pertanyaan akan segera mengalir ke arahku. Gilang telah membongkar
segalanya. Panah-panah tatapan seperti menelanjangiku.
“ada apa Pak?” tanyaku polos pada
pak Surya. Kutahan nafas dan tatapan agar tidak mencurigakan. Saat seperti ini
posisinya adalah antara aku harus jujur tentang perselingkuhanku di masa lalu
dengan taruhan keutuhan rumah tanggaku atau harus berbohong untuk
menyelamatkannya. Demi Maria dan Fina, aku pilih opsi kedua.
“ada apa Gilang kemari pak?” tanyaku
sekali lagi pada Pak Surya. Seraya aku menghampiri Maria yang menenangkan buah
hati kami. Kukecup keningnya. Kupeluk erat kepalanya.
Pak Surya sebenarnya datang ke
rumah kami untuk menemui kami, terutama cucunya. Tapi mengetahui rencana itu,
Gilang juga datang untuk melaporkan perselingkuhanku. Tiba-tiba pak Surya
menarik tanganku.
“Mardi, sekarang jawab pertanyaan
bapak dengan tegas dan jelas. Apa benar selama ini kau ada menjalin hubungan
dengan perempuan lain selain Maria? Katakan pada bapak bahwa semua yang
dikatakan Gilang itu adalah kebohongan!”
Mendengar interogasi itu, Maria
yang malah menangis.
“Cukup pak, aku lebih mengenal bang
Mardi dari siapapun. Aku tahu ia tak akan mengkhianati cinta kami. Ia tak akan
menghianati kepercayaan bapak. Pertanyaan
bapak itu tidak pantas. Bapak seolah lebih percaya pada Gilang daripada menantu
bapak sendiri. Bapak kan tahu betapa jahatnya Gilang, hanya karena ia anak
sahabat bapak hingga bapak tak berani menyingkirkannya dari perusahaan” Maria
menutup kalimatnya dengan tangis.
Bersambung
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#25)"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta