Karma Itu Ada (#26)
“aku tak mungkin melakukannya pak” timpalku. “
aku sudah merasa berhutang banyak pada
keluarga bapak. Aku tak akan pernah melakukan hal serendah itu” jawabku tegas.
Pak Surya sepertinya sangat puas dan lega dengan jawabanku.
Aku seperti keluar dari lubang
jarum yang sangat sempit. Kelegaanku berbeda dengan pak Surya. Kelegaannya
adalah kelegaan yang paripurna, sempurna pada klimaksnya. Sementara kelegaanku
adalah kelegaan paling dasar untuk memulai sebuah dendam pembalasan pada
Gilang. Orang yang memang belum merasa puas untuk menghancurkan rumah tangga
kami. Tapi hatiku mengatakan jangan. Aku harus melupakan Gilang. Tokh Pak Surya
sudah teranga-terangan memecatnya dengan kasar, dengan cara yang paling tidak
terhormat.
Mugkin ini juga puncak
kekesalan Pak Surya pada Gilang. Karena kecelakaan Maria lah Gilang membatalkan
perkawinan mereka. Gilang sendiri adalah anak dari sahabat pak Surya. Bahkan
sahabat pak Surya itu sendiri yang akhirnya merasa malu akibat perbuatan
Gilang. Akhirnya persahabatan mereka merenggang hingga saat ini.
Hari ini aku berniat untuk memulai
lembaran baru. Keluargaku sudah utuh. Gilang sudah tersingkir dari kehidupan
kami. Aku pun dengan tenang berangkat ke tempat kerja. Kulambaikan tangan ke
arah Maria dari dalam mobil. Maria membalasnya dengan melambaikan tangan Fina
sambil tersenyum.
Hari ini cuaca cerah sekali. Sama
seperti hatiku. Mentari tak pongah, hanya melirik anggun saja. Sedang asyik
menyetir tiba-tiba sebuah sepeda motor menyalip mobilku dari kanan. Dengan
mendadak ku injak pedal rem sekuat mungkin menghasilkan suara mencicit aspal
yang bertarung dengan ban mobilku. Dua orang berwajah sangar membawa pentungan
mengetuk-ngetuk kaca mobilku.
Tanpa bicara mereka memecahkan kaca
mobilku dan memukuli aku yang paling terlilit sabuk pengaman. Beberapa meter
dari belakang kudengar suara teriakan.
“tolonggg.. ada rampok.. tolong ada
rampok!!”
Tapi sebuah pukulan kayu terlanjur
mengenai belakang kepalaku karena aku menunduk. Lalu semua gelap. Gelap sekali.
Tak ada Maria ataupun Fina yang selama ini kuanggap sebagai lenteraku. Kemana
mereka di malam tergelap ini?
Saat aku siuman pun hanya Dody yang
ada di sampingku. Suara terakhir yang kudengar yang meneriakkan kata rampok
hingga nyawaku masih terselamatkan di rumah sakit ini. Wajah Dody kusut. Ia
tampak lelah sekali. Ada sedikit bercak darah di bajunya. Kepalaku masih
diperban. Ada sedikit luka menganga di bagian belakang yang harus dijahit. Tapi
tidak sampai berpengaruh ke dalam.
Setidaknya begitulah keterangan
dokter yang kuperoleh melalui Dody.
“aku sudah menelepon kantor dan
memberitahu Pak Surya tentang ini. Mungkin Pak Surya dan istrimu sedang dalam
perjalanan kemari. Pelakunya tadi telah ditangkap dan sekarang ada di kantor
polisi” Dody menjelaskan semua yang ingin kutahu tanpa perlu bertanya.
“makasih ya Dod, aku gak tahu apa
jadinya tadi kalau ga ada kamu. Kamu emang sahabat terbaik aku” ucapku tulus
pada Dody. Namun Dody tak menanggapi kalimat terakhir yang aku ucapkan. Dia
tertunduk seperti menyimpan sesuatu. Ada hal yang seperti ia simpan tanpa mampu
ia ucapkan.
Dody yang sedari tadi duduk di
pembaringanku merapatkan kursinya. Memegang kedua tanganku sambil menunduk. Ada
tetes air mata yang jatuh ke punggung tanganku.
“maafin aku Mar, aku minta maaf.
Semua ini gara-gara aku” Dody makin sesenggukan di antara kebingunganku
mencerna kalimatnya.
“kamu kenapa Dod? Aku yang kena
musibah kok malah kamu yang nangis?” tanyaku dengan suara pelan.
“maafin aku Mar, sebenarnya aku
yang kasih tahu cerita tentang kamu dan Tiara ke Gilang. Maafin aku Mar. Dia
mengancam memecat aku kalau aku tidak ceritain tentang kamu. Sekali lagi aku
minta maaf. Aku bersedia lakuin apa aja untuk nebus salahku ke kamu. Aku ga
nyangka kalau akhirnya bakal begini, Mar”
Aku melepaskan tangan Dody. Aku
merasa tak percaya atas apa yang baru saja aku dengar. Seorang sahabat telah
berkhianat pada musuh. Aku hanya bisa menatap langit-langit kamar rumah sakit
ini. Kalimatku tersangkut di leher tanpa bisa keluar. Ada amarah, umpatan dan
cacian yang kusediakan untuk Dody. Tapi
semua tersekat sempurna. Tak ada yang keluar.
Lagipula aku juga lega telah
mendapat jawaban atas pertanyaanku selama ini. Dody memberitahu rahasiaku pada
Gilang dan Gilang memanfaatkan itu untuk merusak hubunganku dengan Maria.
Sungguh sebuah skema sebab akibat yang tak terelakkan. Aku tahu kondisi Dody.
Dia sangat membutuhkan pekerjaannya. Jadi apa yang dilakukannya adalah opsi
terakhir yang ia punya. Kesalahan fatalnya ialah ia tak memikirkan resiko atas
apa yang dia perbuat.
Beberapa saat kemudian Pak Surya
datang menjengukku. Sendiri saja. Tidak ada Maria. Menurut pak Surya, suasana
rumah sakit tidak cocok untuk buah hati kami, Erfina. Dody langsung pamitan
hendak pulang. Masih ada raut penyesalan di wajahnya. Penyesalan yang
sebenarnya tidak ada gunanya.
Aku baru saja menjadi target
percobaan kejahatan yang ku tak tahu apa motifnya dan siapa pelakunya. Tapi
kepalaku belum bisa berpikir keras, kepalaku masih terasa pusing. Aku tidak
bisa fokus. Segala usaha untuk mengingat gambaran wajah orang-orang tadi pun
membuat kepalaku pusing.
Seorang dokter masuk ke ruanganku.
Pak Surya bangkit dan menyalam sang dokter.
“Anak saya tidak apa-apa kan dok?”
“tidak apa-apa pak. Hanya sedikit
gegar otak ringan terkena pukulan tadi”
“kalau begitu apa kami sudah bisa
pulang dok?”
“maaf pak, tunggu dulu satu hari.
Kalau kondisinya normal dan tidak ada tanda-tanda perawatan lanjut, besok Pak
Mardi sudah boleh pulang” jelas pak dokter dengan senyum khas dokter yang telah
disumpah atas profesinya. Pak dokter berlalu, Pak Surya menghampiriku.
“tak usah beritahu ibu dan bapak di
kampung ya pak” pintaku pada pak Surya.
“wah, nanti malah mereka yang
protes pada bapak”
“tidak pak, saya yang tanggung
jawab. Terlalu repot kalau mereka datang kemari. Apalagi kalau mereka tahu
kejadian yang menimpa aku”
“ya sudah kalau itu memang
kemauanmu Mar” Pak Surya mengalah.
“Maria nanti kemari pak?”
“Kemungkinan tidak Mar, karena
rentan sekali anak bayi dibawa ke rumah sakit seperti ini. Kalau Maria sendiri
yang datang malah makin ga baik ninggalin Fina di rumah sama perawat”
“ooh” jawabku singkat.
Sebenarnya aku sangat merindukan anakku dan Maria. Aku tahu mereka bisa menjadi
pereda rasa sakit ini. Pelipur duka yang membuat aku geram ini.
===
===
Open Comments
Close Comments
Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#26)"
Komenlah dengan bijak
Curhat Cinta