Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Karma Itu Ada (#27)

Karma Itu Ada (#27)



Karma Itu Ada
Rumah sakit dan penjara adalah dua tempat yang harusnya tidak pernah dikunjungi apalagi dihuni. Keduanya sangat menyiksa kebebasan. Bila penjara menjadi tempat semacam terapi agar menjadi orang baik, maka rumah sakit menjadi tempat untuk menjadikan pasiennya menjadi sehat. Tapi terlalu lama di rumah sakit ini menjadikan aku semakin sakit. Memang masih 24 jam tapi rasanya memang sangat menyiksa. Apalagi aku begitu rindu dengan Maria dan Fina. Aku ingin segera pulang. Kerinduan itu membuat sakit di kepalaku makin terasa.
Kudengar pak dokter sedang berdiskusi serius dengan pak Surya. Tapi aku tak bisa dengan jelas mendengar pembicaraan mereka. Entah suara mereka yang terlalu pelan atau memang pendengaranku yang terganggu. Saat seperti itu aku antara sadar dan tidak sadar. Sepertinya pembicaraan itu adalah mimpi, tapi seperti nyata juga. Di kepalaku saat ini hanya terbayang Maria dan Erfina buah hatiku. Yang lain, aku tidak peduli.
“melihat kondisimu, sepertinya kau tidak bisa pulang hari ini Mar” ucap pak Surya.
“Apa pak? Aku kan sudah sembuh. Lihat nih! Sama sekali tidak sakit” sanggahku.
“iya Mar, tadi bapak juga sudah telepon kedua orang tuamu di kampung. Mungkin sebentar lagi mereka sampai. Dokter bilang harus dilakukan CT Scan untuk mengetahui secara pasti kondisi kepalamu” urai Pak Surya.
Uraiannya itu memang singkat, padat dan mudah dipahami. Tapi sulit diterima olehku. Sekejam inikah dunia akan memenjarakanku di kesengsaraan? Emangnya apa salah yang telah aku perbuat? Tapi pertanyaan dan protesku itu tidak ada gunanya. Aku mau bertanya pada siapa? Tokh semua akan menjawab kalau aku harus bersabar.
Kedua orang tuaku baru saja tiba ketika segala proses CT Scan telah selesai. Memang hasilnya tidaklah buruk. Ibuku yang pertama kali datang menghambur dan menangisi aku. Ingin ku katakan pada ibu agar jangan menangis. Aku tak suka tangisan ibu sebab tangisannya ini seperti tangisan kematian. Yang kualami ini hanyalah kecelakaan kecil dan biasa. Bisa menimpa siapapun. Jadi tak usah ditangisi. Sebab telah banyak kesedihan yang kami alami. Tangisanpun tak akan pernah membayar apa-apa.
Di hari ke empat, aku sudah boleh pulang. Ibu yang masih setia menemani aku. Bapakku sudah pulang karena ladang harus dijaga kalau masih mengharapkan hasil di musim panen nantinya. Pak Surya juga sudah kembali ke kantor seperti biasa. Hanya ibu yang menemani aku sampai di rumah. Rinduku pada Maria dan Fina sudah semakin menggebu. Supir taksi yang membawa kami pulang seperti sengaja melama-lamakan taksinya. Padahal sebenarnya tidak. Hanya perasaanku saja yang ingin cepat sampai.
Sesampai di depan pagar rumah. Ibu masih memegang lenganku sambil membukakan gerbang perlahan. Aneh, tak ada sambutan buat aku yang baru pulang dari rumah sakit. Dimana senyum Maria yang senantiasa menyambut aku pulang bekerja? Dimana Finaku yang selalu menyambutku dengan tawa renyahnya?
Perlahan kubuka pintu rumah yang ternyata tidak terkunci. Tapi alangkah terkejutnya aku ketika melihat apa yang ada di depan mataku. Sepasang manusia tanpa busana melakukan hal yang membuat otakku marah. Perawat Maria dan Gilang bersetubuh di rumahku. Rumah yang selalu kujaga kesuciannya. Amarahku memuncak. Tenagaku seperti pulih sendiri. Ku ambil vas bunga yang ada di depan pintu dan kulemparkan ke arah mereka. Gilang yang kaget masih bisa mengelak dan buru-buru mengenakan pakaiannya. Lari dan kabur. Perawat itupun dengan tergesa-gesa mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Sungguh pemandangan yang memalukan. Apalagi aku bersama ibu.
“ampuni saya pak, maafin saya” sang perawat memohon di kakiku. Tapi aku tak bisa membiarkan semua ini tanpa konsekuensi. Aku memecat si perawat saat itu juga. Kuberikan ia gaji 3 bulan dan ongkos untuk mencari pekerjaan baru atau pulang ke kampungnya. Dengan tertunduk ia pergi dari rumahku. Aku tak berani menatap wajah ibuku. Malu.
Sial. Aku tak sempat bertanya kemana Fina dan Maria. Ponselnya juga tidak aktif sedari tadi dihubungi. Aku memintaku untuk istrahat saja dulu di kamar tamu. Ibu menolak. Ibu ingin merawat aku. Sebenarnya aku kasihan pada ibu. Dia pasti sangat lelah sekali. Berhari-hari kurang tidur di rumah sakit demi menjaga aku anaknya. Memang tak salah kalau surga itu di bawah telapak kaki ibu. Ibu memang selalu ada buatku di saat-saat terberatku. Entah kenapa ia seperti memiliki naluri keibuan yang paling sulit dijelaskan. Naluri keibuan dari dulu belum bisa dijelaskan secara ilmiah.
Pak Surya yang ku hubungi pun mengaku tak tahu dimana keberadaan Maria. Hingga senja menjelang malam barulah ponselku berdering.
“abang udah pulang dari rumah sakit?” suara keluar dari speaker ponsel.
 ===
Bersambung 
Open Comments

Posting Komentar untuk "Karma Itu Ada (#27)"